DITETAPKANNYA Hakim Agung Sudrajat Dimyati sebagai tersangka penerima suap terkait pengurusan perkara, menjadi tamparan keras bagi dunia peradilan pada umumnya dan Mahkamah Agung (MA) pada khususnya. Meskipun kejadian ini bukan yang kali pertama, namun dunia peradilan kembali seolah roboh. Ini karena seorang Hakim Agung, yang notabene merupakan benteng terakhir penjaga marwah keadilan di level tertinggi, justru ikut bermain mata memainkan perkara. Demi, mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Terungkapnya kotak pandora bisnis gelap permainan perkara itu tak boleh dipandang sebelah mata. Sebab, sependek sepengetahuan saya, bisnis haram yang dilakukan secara kedap ini bisa jadi masih banyak terjadi. Cerita-cerita tetang calo perkara yang bergentayangan menawarkan beragam diskon hukuman hingga pemenangan perkara dengan imbalan tarif tertentu masih menghantui para pencari keadilan.
Mereka bekerja sangat rahasia, menggunakan beberapa lapis orang dan memutus mata rantai komunikasi antara si calo dengan oknum hakim agung yang bermain mata. Permainan itu hanya diketahui oleh para pihak yang akan melakukan upaya hukum di MA. Ini agar penegak hukum yang ingin membongkar skandal jual beli perkara di tubuh MA tak mudah dibongkar.
Kasus itu pun terjadi ketika KPK akan membongkar permainan yang dilakukan Hakim Agung Sudrajat Dimyati. Lembaga antirasuah sempat kelimpungan. Penyebabnya, karena komunikasi ke Hakim Agung Sudrajat Dimyati terputus. Para penyelidik KPK pun langsung putar otak ganti haluan dalam melakukan metode penyelidikan. Mereka melakukan kombinasi gaya konvensional dalam melakukan penyelidikan sembari tetap melakukan penyadapan.
Caranya: membuntuti salah satu perantara suap yang intens berkomunikasi dan melakukan pertemuan dengan pihak terduga penyuap. Singkat cerita, dari metode penyelidikan tersebut, tim pun menemukan bukti permulaan yang cukup ihwal dugaan keterlibatan Sang Wakil Tuhan yang turut serta dalam permainan perkara ditubuh MA.
Kasus suap Hakim Agung Sudrajat Dimyati ini bukanlah puncak gunung es. Diperkirakan masih banyak lagi berbagai permainan yang belum terbongkar. Hal inilah yang menjadikan para pihak yang berperkara mengalami dilema. Ibaratnya bagai makan buah simalakama. Maju kena, mundur kena.
Sehingga para pencari keadilan terkadang ada yang menghendaki secara sadar untuk menyuap sang Hakim Agung agar hukumannya disunat. Ada pula yang terpaksa menyanggupi tawaran tarif pemenangan perkara, karena dewi fortuna dinilai hanya berpihak kepada pihak yang memiliki dana.
Hilangnya Keberanian Menolak dan Rasa Malu
Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne, dalam Gone Theory menyebutkan bahwa beberapa faktor yang menjadikan seseorang korupsi adalah Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). (Pusat Edukasi AntiKorupsi).
Dalam teorinya, Jack Bologne menilai bahwa hal yang menjadikan seseorang bisa korupsi karena diliputi empat. Semuanya beriirisan satu sama lain antara keserakahan, kesempatan, kebutuhan dan pengungkapan.
Namun dewasa ini, dalam tataran praktiknya, korupsi di Indonesia tak hanya sebatas empat hal itu. Kalau boleh saya tambahkan, ada dua hal lagi yang bisa menjadikan seseorang terlilit korupsi.
Pertama yakni faktor ketidakberanian seseorang menolak untuk tidak melakukan korupsi karena takut diasingkan oleh kolega dilingkungan kerja yang tak sehat. Kemudian, ketidakberanian menolak korupsi karena takut dipecat dari jabatannya oleh atasannya, karena terjebak dalam sistem kerja yang korup.
Untuk mengatasi hal ini, maka semua elemen lembaga baik pemerintah ataupun swasta harus membenahi sistem dan menghilangkan budaya yang korup terlebih dahulu. Kalau tidak dilakukan, maka korupsi akan terus ada dan beranak pinak, bagai bisul yang tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung.
Kedua, hilangnya budaya malu. Sebaik apapun sistem yang diperbaiki, jika seseorang tak punya rasa malu, maka korupsi pasti akan terjadi. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, yakni kasus pemotongan uang BLT yang dilakukan oknum perangkat desa di Kabupaten Blitar beberapa waktu lalu. Seandainya oknum perangkat desa itu punya rasa malu, maka perilaku korup itu tak akan terjadi. Dia tak akan mau memakan uang haram yang bukan menjadi haknya.
Namun, karena kebanyakan para pejabat kita tak punya rasa malu, maka korupsi pun merajalela, mengalir seperti air, dari hulu hingga hilir. Bahkan korupsi banyak dilakukan oleh para pejabat kita yang banyak bicara soal idealisme, nasionalisme, keadilan, kemakmuran, dan moralitas.
Perbaikan Sistem, Mental, Hingga Proses Perekrutan Hakim Agung
Belajar dari kasus suap Hakim Agung Sudrajat Dimyati, sudah seharusnya Yang Mulia Ketua MA tak berpangku tangan hanya duduk manis di kursi singggasananya. Namun, harus melakukan gebrakan nyata, pembenahan total hingga melakukan investigasi interna terhadap para pihak yang dicurigai kerap bermain mata memainkan perkara.
Setelah hal ini dilakukan, MA harus mulai melakukan perbaikan sistem, dimulai dari sistem pendaftaran perkara, proses verifikasi, proses pemilihan hakim yang akan menyidangkan perkara, proses penanganan perkara, hingga putusan dijatuhkan. Semuanya harus dilakukan secara transparan dan diawasi secara berjenjang.
Karena tanpa ada transparansi dan pengawasan melekat yang betul-betul dilakukan, maka celah para pihak melakukan korupsi akan terbuka lebar. MA harus belajar dari MK. Meskipun transparansi dan keterbukaan informasi sudah dilakukan, MK pun pernah kecolongan dan diterjang gelombang tsunami korupsi, dimana ketuanya saat itu Muhammad Akil Mochtar, ditangkap KPK karena kedapatan menerima suap dari para pihak yang berperkara.
Selain perbaikan sistem pengawasan internal dari pendaftaran hingga putusan perkara, MA bersama KY juga harus memperbaiki mentalitas para pegawai hingga para Hakim Agung. Sebab, tanpa adanya pembenahan mental, maka usaha perbaikan yang akan dilakukan akan sia-sia.
Terakhir, MA bersama KY juga harus memperbaiki pola perekrutan Hakim Agung. Kedua lembaga itu harus betul-betul menelisik rekam jejak sang calon Hakim Agung, dari mulai si Calon Hakim Agung masuk mendaftar sebagai hakim untuk ditugaskan di Pengadilan Negeri (PN), hingga posisi terakhir saat sang calon mendaftar sebagai calon Hakim Agung.
Jangan ada noda setetes pun dari sang calon, utamanya persoalan integritasnya. Hal ini sangat penting karena akan memengaruhi kinerja ke depannya saat terpilih menjadi Hakim Agung. Kalau sampe mengabaikan itu, tamatlah riwayat Mahkamah Agung sebagai garda terakhir para pencari keadilan di Bumi pertiwi ini.
—————————————————-
”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website www.jawapos.com. Situs Wargasipil.com adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs Wargasipil.com tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”