Pengaturan Internet Signifikan Jaga Demokrasi, tapi Rentan Kriminalisasi dan Bungkam Kebebasan Berekspresi

Pengaturan Internet Signifikan Jaga Demokrasi, tapi Rentan Kriminalisasi dan Bungkam Kebebasan Berekspresi

Pengaturan Internet Signifikan Jaga Demokrasi, tapi Rentan Kriminalisasi dan Bungkam Kebebasan Berekspresi

Warga Sipil – Pengaturan internet di masyarakat demokratis memiliki signifikansi dalam menjaga keberlangsungan ruang publik yang demokratis. Namun ancaman kriminalisasi dan pembungkaman kebebasan berekspresi juga mengintai.

Dalam praktiknya, pengaturan internet di sebuah negara seringkali menjadi arena kontestasi dinamis yang melibatkan pemerintah, lembaga legislatif, partai politik, lembaga bisnis, media, dan masyarakat sipil.

Dari proses tarik menarik antara berbagai pihak tersebut, berpotensi menjadikan legislasi yang dihasilkan dapat menjadi sarana untuk melakukan kriminalisasi dan pembungkaman kebebasan berekspresi .

ADVERTISEMENT

Hal itu disampaikan Devi Tri Indriasari saat memaparkan disertasinya yang berjudul, “Kebebasan Ekspresi dalam Tekanan Regulasi: Studi Terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)” pada sidang terbuka promosi doktor yang diadakan oleh Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI). Penelitian Devi bertujuan untuk menguji tiga proposisi terkait regulasi internet di Indonesia dan implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dari penelitian Devi, didapatkan beberapa kesimpulan di antaranya tidak ada bukti yang cukup untuk menjelaskan latar belakang dimasukkannya sejumlah pasal bermasalah ke dalam UU ITE pada 2008. Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semula menyiapkan RUU ITE untuk menertibkan transaksi bisnis elektonik dan pornografi yang saat itu semakin marak. Namun pada saat terakhir, dimasukkanlah pasal-pasal yang mengandung semangat otoritarian.

Selanjutnya, setelah UU tersebut disahkan dan dijalankan, Devi menyampaikan tidak adanya juga bukti yang menunjukkan baik pemerintah (pusat) dan DPR memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk kepentingan mereka. Dalam banyak kasus, yang menggunakan UU ITE adalah sesama masyarakat, perusahaan, kelompok agama, dan para pemimpin agama.

Temuan berikutnya adalah sejak kelahiran UU ITE, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi secara aktif mengkritisi kelahiran UU ITE beserta pasal-pasalnya. Masyarakat sipil sejak awal sudah mampu menduga ancaman bahaya pasal-pasal bermasalah dalam UU tersebut.

Lalu, dalam penelitian ditemukan bahwa sikap pemerintah secara perlahan berubah. Jika pada 2016 pemerintah menganggap bahwa UU ITE tidak mengandung kelemahan substansial yang melemahkan demokrasi , cara pandang pemerintah berubah pada 2021.

Terakhir, Devi menemukan yang tampaknya belum berubah adalah DPR. Di dalam DPR hadir banyak partai-partai politik yang memiliki sikap berbeda-beda. Namun demikian tidak terlihat ada tanda-tanda bahwa DPR akan mengikuti langkah pemerintah untuk menulis ulang UU ITE.***