Warga Sipil – Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur baru saja mengadakan forum diskusi terfokus (FGD), membahas peluang dan tantangan ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono dalam FGD yang diadakan untuk menyambut Hari ASEAN di Kuala Lumpur, pads pekan lalu itu mengatakan ingin mendengarkan pendapat para pemangku kepentingan yang ada di Malaysia tentang sejauh mana ASEAN berperan dalam menghadapi tantangan multidimensi.
Persoalan yang dihadapi anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara saat ini begitu besar, mulai dari meningkatnya tensi kekuatan utama dan persaingan geopolitik, dampak pandemi global, perubahan iklim dan bencana, hingga krisis keuangan.
Keketuaan Indonesia memiliki agenda menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan. Hal yang menjadi pertanyaan, bagaimana pertumbuhan itu diperoleh, pertumbuhan yang seperti apa yang ingin diperoleh, lalu bagaimana mendapatkan impian itu.
Dalam hitungan bulan, Keketuaan Indonesia di ASEAN akan berakhir, namun belum diketahui apakah Laos yang akan melanjutkan dari apa yang sudah dimulai Indonesia. Hampir setiap tahun mimpi itu berganti, dan kawasan ini pun tidak juga sepi dari persoalan.
Hingga kini ASEAN masih belum dapat menyelesaikan krisis yang terjadi di Myanmar. Pada isu yang lain, bukannya bekerja sama, negara anggota justru saling bersaing menarik lebih banyak investasi untuk menciptakan lapangan kerja.
Terkait kondisi politik di dalam negeri anggota ASEAN, Indonesia segera menghadapi Pemilihan Umum 2024. Semua menanti, siapa yang akan melanjutkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan baru nanti dapat membawa RI ke level yang lebih tinggi atau sebaliknya.
Malaysia pun menghadapi situasi politik yang tidak terlalu berbeda karena pemerintahan yang sedang berjalan saat ini juga terus berjuang meraih hati rakyat melalui Pemilihan Raya Negeri (PRN) Ke-15 yang berlangsung di enam negara bagian pada Sabtu, 12 Agustus 2023. Hasilnya, oposisi menang di tiga negara bagian, yakni Kedah, Kelantan, dan Terengganu, begitupunpetahana menang di tiga negara bagian.
Dalam Keketuaan Indonesia
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan kawasan regional Asia Tenggara dinilai sudah mengalami kemajuan luar biasa dalam pengembangan ekonomi selama 50 tahun terakhir.
Kemampuan ASEAN menjaga stabilitas kawasan membuat aktivitas ekonomi dapat berkembang pesat dan kesejahteraan dapat terjadi di kawasan regional.
Guna menjadikan perhimpunan itu lebih operasional, Indonesia menawarkan tiga agenda prioritas ekonomi. Pertama, pemulihan-membangun kembali pertumbuhan regional, konektivitas dan daya saing baru. Kedua, mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan untuk masa depan yang lebih tangguh.
Ketiga, transformasi digital dengan mengakselerasi transformasi dan partisipasi ekonomi digital yang inklusif.
Namun tidak hanya tiga prioritas itu, ada juga agenda lain yang masuk sebagai prioritas yakni isu keamanan pangan, keamanan dan transisi energi, memperkuat bidang kesehatan, serta jaring pengaman dan keamanan keuangan.
Bahkan hasil dari pertemuan KTT Pemimpin ASEAN beberapa waktu lalu juga sudah mengarah ke sana, antara, lain menyepakati untuk membangun ekosistem kendaraan listrik regional, memajukan pembayaran regional dan transaksi keuangan lokal, jaringan desa ASEAN, kemitraan komprehensif ekonomi regional, mempromosikan kerangka kerja ekonomi biru.
Selain itu, juga memperkuat sistem ketahanan pangan dan mempromosikan pertanian berkelanjutan, meluncurkan Kesepakatan Kerangka Kerja Ekonomi Digital ASEAN (DEFA) yang akan dinegosiasikan tahun ini, memajukan pelaksanaan rencana induk konektivitas ASEAN, serta lebih maju lagi dengan ASEAN Outlook of Indo Pacific.
Tantangan
Dalam konteks global, perubahan dunia dan kawasan regional ada pada fase yang cepat, dalam bentuk yang lebih rumit dan tidak dapat ditebak, ujar Yose.
Setidaknya ada empat kekuatan yang dinilainyamemengaruhi lanskap ekonomi global dan regional dalam jangka pendek maupun panjang, yakni disrupsi teknologi, rivalitas kekuatan besar, permintaan pembangunan berkelanjutan, serta nasionalisme dan proteksionisme.
Beberapa berdampak pada makroekonomi dan karakteristik produksi di kawasan regional serta membawa dampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sana.
Konflik geopolitik berdampak besar terhadap perdagangan, pertumbuhan, dan inovasi, yang ditunjukkan oleh penurunan rasio perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB), hingga perdagangan produk-produk strategis yang menjadi semakin terbatas.
Hasil dari konflik geopolitik tersebut adalah terjadinya deglobalisasi atau setidaknya re-globalisasi perdagangan, ujar Yose. Semakin banyak negara di dunia menerapkan proteksi sebagai “hukuman” terhadap rekan dagangnya sebagai bagian dari strategi keamanan, di mulai dari perang dagang AS dengan China.
Kebijakan ekonomi dan perdagangan sekarang juga menjadi pembatas akses untuk komponen dan teknologi kritis. Itu dapat berdampak pada fragmentasi rantai pasok yang lebih besar lagi.
Pemberian subsidi pembangunan manufaktur chip di dalam negeri Amerika Serikat sebesar 52 miliar dolar AS atau sekitar Rp796,82 triliun membuat negara maju lainnya melakukan hal sama. Jerman salah satunya yang membangun sendiri pabrik semikonduktor di dalam negeri, tidak lagi berinvestasi di luar negara seperti ke Malaysia atau negara lainnya di kawasan regional ini.
Ancaman geopolitik terhadap posisi ASEAN, menurut Yose, juga terasa karena ada beberapa negara anggota yang lebih dekat dengan China, sedangkan yang lainnya lebih memiliki hubungan kuat dengan Amerika Serikat.
Menjaga sentralitas ASEAN dinilai akan menjadi semakin sulit. Banyak inisiatif integrasi di regional bukan di bawah ASEAN dan lebih cenderung tidak inklusif.
Kebijakan industri di negara maju dan pengaturan ulang rantai pasok akan menimbulkan risiko lebih besar bagi posisi Asia Tenggara dalam rantai pasok global.
Menyelesaikan persoalan fundamental
Direktur Eksekutif ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) Jukhee Hong mengatakan membuat perhimpunan di Asia Tenggara itu menjadi lebih kuat, tangguh, dan gesit dapat menguatkan kapasitas ASEAN dan membuatnya lebih efektif menghadapi tantangan yang sedang dihadapi.
Hal itu merupakan visi yang baik karena kawasan regional tersebut harus menentukan pijakannya di panggung dunia sekaligus menandakan tekad menjadi kekuatan ekonomi di dunia, kepercayaan kolektif dalam politik dan ekonomi kawasan, keluar dari era kolonial di masa lampau.
Tidak ada keraguan bahwa ASEAN memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi semakin penting di kawasan untuk diperhitungkan. Asia Tenggara menjadi kawasan dengan pertumbuhan tercepat, memiliki kelas menengah yang meningkat, populasi muda yang besar, wilayah berkembang penerima investasi asing langsung (FDI) terbesar, dengan investor terbesar dari Uni Eropa, Amerika Serikat, China, dan intra-ASEAN.
Namun, ia juga menyebutkan perspektif yang menjadi sisi negatif ASEAN yang menetapkan mereka sebagai basis produksi pasar tunggal memberi harapan, yang pada saat bersamaan memunculkan kekecewaan. Perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara tersebut tidak didesain untuk itu, tetapi lebih pada kolaborasi dan kerja sama daripada integrasi.
“Ekonomi kita saling terkait, tapi tidak benar-benar terintegrasi sebagai satu kesatuan. Pasar ASEAN terfragmentasi, tidak ada standarisasi, dan sudah pasti tidak ada harmonisasi,” ujar Jukhee, yang menyayangkan kondisi itu.
Tidak ada badan terpusat, yang khusus mengurus kerumitan bisnis di lintas batas negara, yang ada hanya Sekretariat ASEAN dengan tugas rapat koordinasi tapi tidak dapat mengimplementasikan kebijakan apa pun, tidak seperti Komisi Uni Eropa.
Pendapat tersebut serupa dengan yang Yose katakan, bahwa institusi ASEAN harus ditingkatkan lagi untuk dapat merespons tantangan yang baru. Semua tantangan harus dapat terpecahkan dengan efektif, dan butuh menguatkan lagi integritas dan roh komunitas ASEAN.
Sebenarnya, sejumlah usaha kecil menengah (UKM) akan mendapat pertumbuhan ekonomi dan bahkan menjadi dominan, bersama maupun tanpa ASEAN. Yang diperlukan adalah membuat kawasan regional tersebut secara kolektif menjadi semakin menarik, jangan sampai visi mengalahkan kesempatan, kata Jukhee.
Kawasan regional tersebut terus memberi sinyal kesediaan untuk menjadi rekan bisnis dan bekerja sama, menanamkan persaingan positif di antara anggota. ASEAN sebagai satu komunitas harus bergerak progresif sehingga jendela kesempatan tidak hilang.
Menurut Jukhee, yang ASEAN butuhkan yakni menyelesaikan persoalan fundamental, dan itu mengacu pada pergerakan bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal.
Namun, setiap kali berbicara dengan pemangku kepentingan di sektor usaha di kawasan tersebut, yang selalu muncul menjadi pertanyaan mereka adalah bagaimana menyederhanakan, membakukan, hinggamenyelaraskan semua kebijakan yang ada di sana.
Ihwal faktor sosial yang, menurut dia, sebetulnya sudah memiliki lapisan sosial yang baik, namun tidak disadari. Kultur sosial, bahasa, makanan, termasuk pernikahan antarwarga negara di kawasan tersebut dapat ditemukan di banyak tempat meski tidak dikenali sebagai “merek” ASEAN, karena hal itu merupakan konsep baru.
Jadi, pencitraan identitas ASEAN sebagai masyarakat Asia yang berbeda-beda, yang mungkin muncul sebagai produk kolonial di masa lampau, harus dibangun ulang.
Harapannya, generasi muda di kawasan regional tersebut dapat mengangkat Satu Identitas ASEAN jauh lebih baik lagi.