Warga Sipil – Membawa ilmuwan Indonesia di luar negeri kembali ke tanah air menjadi tugas yang tidak mudah. Terlebih ketika ekosistem yang mendukung para diaspora tersebut untuk berkarier di negeri sendiri belum matang.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Laksana Tri Handoko mengatakan, membangun ekosistem yang akan mendukung ilmuwan diaspora untuk bisa berkarier di Indonesia menjadi bagian dari program yang tengah dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya saat ini.
“Yang kita lakukan pertama sejak awal itu adalah menyiapkan ekosistem di sini, terutama infrastruktur risetnya, sehingga mereka waktu pulang punya ‘mainan’ lah, kira-kira begitu. Sehingga dia bisa melanjutkan aktivitas risetnya dan meningkatkan kapasitas kompetensi sesuai kepakarannya,” kata dia di sela-sela peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional di BRIN , Kamis, 10 Agustus 2023.
Ia mengaku paham mengenai situasi yang dialami diaspora bila dipanggil kembali ke tanah air untuk berkarier. Terlebih karena ia sendiri berpengalaman berkarier di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Menurut Tri Handoko, akan sangat berlebihan bila menuntut peneliti diaspora kembali ke tanah air tanpa negara menyediakan ekosistem untuk mendukung mereka. “Tidak bisa kita hanya mendidik orang yang sudah ‘jadi’ di luar (negeri), kemudian kita suruh balik, kita berharap mereka melakukan sesuatu. Itu tidak mungkin kalau kita tidak menyediakan ekosistemnya, tidak ada laboratoriumnya sama sekali, dia harus memulai dari nol, itu tidak mungkin. Too much,” katanya.
Tri Handoko mengatakan, hanya sedikit peneliti yang kembali ke tanah air bisa sukses tanpa ada ekosistem yang mendukung pengembangan karier mereka. Namun sebagian besarnya justru tidak berhasil mengembangkan potensinya.
“Ada beberapa yang bisa survive dan bisa bagus, tapi sebagian besar kan akhirnya justru malah jatuh. Talenta itu bisa menjadi talent karena ada ekosistem lingkungannya juga. Jadi itu yang menjadi tugas kami untuk menciptakan itu,” tuturnya.
Berdasarkan data BRIN , terdapat beberapa fasilitas riset yang dikembangkan akhir-akhir ini. Terbaru adalah pengembangan Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno di Cibinong, Kabupaten Bogor, yang kini masih berjalan. Kawasan riset terpadu itu sudah dikembangkan sejak 2019.
Pembangunan kawasan ini menggunakan pembiayaan dari 12 Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Menurut Tri Handoko, hingga akhir tahun ini, pembangunan infrastruktur riset akan menghabiskan dana sekitar Rp 5 triliun. Untuk 2024, katanya, tidak dilanjutkan untuk pembangunan infrastruktur riset.
“Di 2024 kita akan liburkan dulu untuk infrastruktur, karena kebijakan Pak Presiden tidak boleh ada yang carry over. Padahal, kan, kita biasanya multi-years (dengan SBSN),” katanya.
Namun, dia mengusulkan tambahan pembangunan lab infectious, yang keperluannya mendesak, kendati pembiayaan dari SBSN tidak cukup hanya satu tahun.
Menurut Tri Handoko, KST Soekarno dipusatkan untuk riset hayati, yang merupakan riset dasar, seperti melihat sistem molekul, struktur protein, struktur sel, dan sebagainya. Kemudian diaplikasikan untuk untuk pertanian, termasuk perikanan darat dan peternakan dan kesehatan.
Fasilitas riset KST Soekarno, ujar Tri Handoko, terbuka untuk semua pihak, termasuk industri. Itu sebabnya, dari luasan lahan 190 hektar di kawasan ini, 30 hektar merupakan kawasan komersial.
“Kami menyediakan juga fasilitasi untuk tenant industri berbasis Research and Development (RnD). Dan itu sudah beberapa, ada yang memproduksi reagen, enzim, vaksin, dan sebagainya,” kata dia.
Selain KST di Cibinong, BRIN juga telah membangun Fasilitas Laboratorium Pengolahan Mineral Lokal Strategis Berbasis Teknologi Low-Cost dan Zero Waste di Lampung. Sementara di Biak, Papua, BRIN akan membangun Fasilitas Stasiun Bumi Pengendali dan Penerima Data Satelit.***