Heboh PBB Teriak ‘Pasal Zina’ RI, Kemlu Bereaksi

Heboh PBB Teriak ‘Pasal Zina’ RI, Kemlu Bereaksi

wargasipil.com – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Indonesia. Ini terkait teguran lembaga internasional itu dan kekhawatirannya soal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang baru.

Hal ini ditegaskan Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah dalam konferensi pers, Senin. Ini, ujarnya, merupakan adab yang berlaku dalam interaksi perwakilan asing ataupun PBB di suatu negara untuk membahas berbagai isu.

“Terkait mengenai pernyataan perwakilan PBB di Indonesia, sudah dipanggil pagi hari ini oleh Kemlu,” katanya dikutip Selasa (13/12/2022).

“Kami memanggil karena ini merupakan salah satu tata hubungan dalam diplomasi,” tegasnya.

Ia pun meminta perwakilan asing untuk tidak menggunakan media massa sebagai alat menyampaikan informasi yang belum terkonfirmasi. Termasuk, tidak terburu-buru mengeluarkan pendapat apalagi jika sesuatu permasalahan belum jelas.

“Jadi kita tidak menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi,” tambahnya.

“Dengan demikian ada baiknya sangatlah patut bagi perwakilan asing, termasuk PBB, untuk tidak secara terburu-buru mengeluarkan pendapat atau statement sebelum mendapatkan suatu informasi yang lebih jelas,” jelasnya.

Sebagai informasi, PBB memberi pernyataan soal KUHP baru RI pekan lalu. PBB merasa ada beberapa hal dalam aturan baru itu yang tak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Badan itu menyatakan bahwa pihaknya menemukan KUHP yang direvisi tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan hak asasi manusia (HAM). Bahkan, dirasa diskriminatif.

“KUHP yang direvisi yang tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan HAM. Termasuk hak atas kesetaraan dihadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi serta hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tulis lembaga internasional itu dikutip dari situs resminya dilihat CNBC Indonesia.

PBB khawatir beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan HAM. Selain itu, beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.

“Orang lain akan mendiskriminasi atau memiliki dampak diskriminatif pada perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual dan akan berisiko mempengaruhi berbagai hak kesehatan seksual dan reproduksi, hak privasi, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender,” tambah lembaga itu.

“Ketentuan lain berisiko melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka,” ujarnya.

Dengan adanya KUHP ini, pakar HAM PBB juga telah mengirimkan surat kepada Pemerintah RI. Ini untuk memastikan hukum dalam negeri diselaraskan dengan kewajiban hukum hak asasi manusia internasional Indonesia dan komitmennya terhadap Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif juga berkomentar kemarin. Ia menegaskan KUHP baru akan berlaku efektif tiga tahun ke depan.

“KUHP akan mulai berlaku efektif 3 tahun sejak diundangkan, artinya KUHP baru belum berlaku saat ini. Kita masih memiliki waktu 3 tahun ke depan,” ujar Edward.

Ia juga menyebut KUHP telah disusun dengan cermat dan hati-hati, di mana pemerintah selalu mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu, negara, dan masyarakat. Serta mempertimbangkan kondisi bangsa yang multi etnis, multi religi, dan multikultur.

Sementara mengenai pasal-pasal perzinahan pada pasal 411 dan pasal soal kohabitasi, Edward menyebut masyarakat harus memahami bahwa pasal-pasal tersebut diterapkan berdasarkan delik aduan absolut.

“Hanya suami atau istri yang terikat perkawinan atau orang tua anak bagi yang tidak terikat perkawinan yang dapat membuat pengaduan,” jelasnya.

“Pihak lain tidak dapat melapor atau main hakim sendiri. Jadi tidak akan ada proses hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung, serta tidak ada syarat administrasi untuk menanyakan status perwakinan dari masyarakat dan turis,” tambahnya.

Edward juga menjelaskan KUHP baru yang disahkan telah mengatur alternatif sanksi selain tindak penjara. Yaitu denda, pengawasan, dan kerja sosial, serta perumusan tindak pidana secara jelas dan ketat dengan penjelasan untuk menghindari multitafsir.