Ekotifa, inovasi dalam pemberdayaan masyarakat di Kota Bogor

Ekotifa, inovasi dalam pemberdayaan masyarakat di Kota Bogor

wargasipil.com – Apa yang dipikirkan ketika berjalan-jalan ke Kota Bogor? Mungkin jawabannya adalah Kebun Raya Bogor. Akan tetapi sekarang, Kota Bogor memiliki sejumlah alternatif objek wisata lainnya.

Adalah Ekowisata Kreatif Indonesia (Ekotifa) yang merupakan salah satu usaha sosial yang bergerak di bidang wisata menginisiasi lahirnya Baik Heritage.

Baik Heritage merupakan program wisata berkelanjutan yang dapat dilakukan dengan bersepeda maupun berjalan kaki di Kota Bogor.

“Program wisata berkelanjutan ini menjelajahi daya tarik sejarah dan kearifan lokal wisata yang ada di Kota Bogor,” ujar salah satu pendiri Ekotifa, Afrodita Indayana.

Program wisata Baik Heritage mendukung peningkatan kesadaran akan situs warisan dengan pariwisata berkelanjutan, membangun kesadaran tentang ramah lingkungan, ekonomi mikro, kegiatan sehat, dan inovasi daya tarik perkotaan.

Bogor atau dalam bahasa Belanda Buitenzorg (yang berarti tanpa kegelisahan) memiliki sejarah yang menarik untuk digali lebih dalam. Pada masa penjajahan Belanda, selain dijadikan kediaman musim panas Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Bogor juga pusat ekonomi, ilmu pengetahuan dan budaya.

Selain itu, Bogor merupakan kota yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda kuno dan disebut dalam Pakuan Pajajaran. Hal itu dibuktikan dengan adanya catatan mengenai kota Pakuan yang hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeeck pada 1687.

Mereka melakukan penelitian terhadap Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Bogor.

Terdapat sejumlah seri yang dihadirkan dalam wisata itu yakni The Lost Kingdom (wisata sejarah ke sisa peninggalan Pakuan Padjajaran di Bogor), The Legacy of Buitenzorg History (wisata sejarah ke warisan arsitektur kolonial Belanda di Bogor), The Residence of Museum and Science (wisata sejarah ke warisan pusat penelitian dan museum di Bogor).

Selanjutnya, Bogor Legendary Culinary (wisata ke tempat kuliner legendaris di Bogor), Bogor Urban Legend (wisata kota di malam hari mengunjungi tempat yang diyakini memiliki legenda urban legend di Bogor), dan Bogor Local Genius (tur kota ke tempat komunitas lokal yang memiliki produk unik , kreatif dan inovatif).

Program wisata tersebut berawal dari keprihatinan pihaknya dengan kondisi wisata di Kota Bogor. Afro menilai kota itu memiliki potensi wisata yang baik, tetapi potensi tersebut belum digarap dengan baik dan dirasakan oleh masyarakat.

Semua program wisata melibatkan dan menggerakkan ekonomi masyarakat tempatan. Misalnya saat mereka berwisata dengan sepeda, kami ajak untuk menikmati kuliner lokal dan juga dibawa ke tempat UMKM di Bogor. “Meski demikian, kami mengajak masyarakat bahwa ini bisnis dan bukan aksi kolektif,” kata Afro.

Ke depan, usaha sosial yang dirintis lulusan IPB University tersebut diharapkan dapat terus berlanjut dan membawa dampak pada perekonomian masyarakat setempat. Dengan demikian diharapkan masyarakat akan semakin berdaya.

Tak hanya berkolaborasi dengan masyarakat, dalam menjalankan usaha sosial itu pihaknya berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan diantaranya Pemkot Bogor, perguruan tinggi, perusahaan swasta, hingga media.

Pakar usaha sosial dari Yale School of Management, Dr Teresa Chahine, mengatakan bahwa dalam menjalankan usaha sosial yang berkelanjutan perlu adanya kolaborasi semua pihak.

Chahine mengapresiasi usaha sosial yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Selain Ekotifa, juga ada Kampung Wisata Labirin yang juga terletak di Kota Bogor.

Chahine menjelaskan dengan kewirausahaan sosial yang berkelanjutan menjadi paradigma baru dalam berbisnis. Bisnis tidak hanya menciptakan solusi pasar yang layak, tetapi juga bertindak sebagai agen perubahan dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Kewirausahaan sosial sendiri dapat dimulai dari mengenali permasalahan sosial yang ada, mengambil tindakan untuk mencoba memecahkan masalah dan memulai potensi usaha sosial. Meski demikian, bukan berarti harus membuka usaha baru.

Kolaborasi tentu saja menjadi kata kunci yang tak terelakkan dalam kewirausahaan sosial ini.

Kurikulum

Manajer Inovasi inkubasi dan Pengembangan Usaha PPM School of Management, Nina Ivana Satmaka, mengatakan penting memberikan perhatian pada pihak swasta untuk memberikan perhatian pada usaha sosial.

Dengan adanya kewirausahaan sosial, maka sudah tidak zaman lagi program tanggung jawab sosial hanya memberikan dana dan tidak berkelanjutan.

Menurut dia, selain itu bagaimana membuat inovasi yang dilakukan perusahaan dan sehingga pihak perusahaan bisa melakukan perubahan sosial.

Dalam kesempatan itu, Nina menjelaskan kedatangan Dr Teresa Chahine, bertujuan membantu kurikulum kampusnya, yang mana pihaknya punya program sarjana manajemen bisnis dengan salah satu mata kuliahnya kewirausahaan sosial.

“Kami mencoba membangun kurikulum yang baik lagi, supaya mahasiswa lebih tajam lagi dalam melihat perubahan sosial dan apa yang mau mereka buat,” kata Nina.

Dengan demikian, diharapkan mahasiswa dapat melakukan inovasi sosial meskipun tidak menjadi pengusaha. Paling tidak dapat memberikan dampak sosial pada masyarakat.

Oleh karenanya, dalam pengembangan kurikulum pihaknya akan lebih banyak mengembangkan muatan inovasi sosial. Dengan inovasi sosial tersebut dapat mengatasi permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Kewirausahaan sosial bukan hanya berbicara mengenai memulai bisnis baru.

“Akan tetapi bagaimana dapat berkontribusi, bisa melalui aktivitas, kewirausahaan, profit, atau kita bisa melakukan ketiga-tiganya sekaligus. Baik sebagai sebagai mahasiswa maupun sudah berkarir maupun membuka usaha,” imbuh Nina.