Warga Sipil – Sulitnya mewujudkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 agaknya perlu menjadi inspirasi untuk mewujudkan persatuan dan cinta kepada Tanah Air pada 78 tahun kemerdekaan republik ini.
Kalau dulu, jangankan berjuang secara fisik di medan pertempuran di berbagai daerah di republik ini, hingga pertempuran heroik di Surabaya pada 10 November 1945, mendokumentasikan proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta pun tidak mudah.
Adalah Alex Impoeroeng Mendoer (Kepala Bagian Foto Kantor Berita Domei seksi Indonesia/ANTARA) bersama adiknya Frans Soemarta Mendoer (wartawan Asia Raya) yang diperintah Adam Malik untuk meliput upacara Proklamasi Kemerdekaan, namun mengalami nahas.
Hal itu diceritakan wartawan senior LKBN ANTARA Boyke Soekapdjo. Menurut kisah, film milik Alex itu raib saat dikeringkan (cuci cetak), karena kempetai (polisi rahasia Jepang) telah menyitanya.
Untungnya, Frans (sang adik) berhasil menyelamatkan film dari foto bersejarah itu dengan menguburkan film di bawah pohon di belakang kantornya dan baru dicetak setelah kondisi aman. Foto Frans itulah satu-satunya foto proklamasi kita yang ada saat ini.
Peran strategis jurnalis di era perjuangan itu pun masih dibumbui dengan “fitnah” di era digital dengan adanya informasi digital (video/buku) yang mengaitkan Adam Malik (pendiri LKBN ANTARA) dengan CIA (Agen CIA).
Secara asal usul informasi, narasumber kompeten (sejarahwan dan ahli intelijen) tidak ada. Secara matan (konten/isi), aspek klarifikasi tidak ada, aspek objektivitas juga tidak ada (sepihak dan tanpa pembanding), serta aspek kepentingan publik juga nihil. Secara referensi atau data pun tak ada.
Padahal, Adam Malik itu juga sebagai pendiri “Barisan Pendukung Soekarnoisme” yang bertujuan menjauhkan Soekarno dari pengaruh PKI. Jadi, Adam Malik itu pendukung sang proklamator dan mendorong lahirnya proklamasi kemerdekaan, bukan pro-CIA, apalagi pro-PKI.
Kesulitan bangsa ini dalam bersatu pada masa perjuangan juga bukan berarti masa pembangunan saat ini, bahkan mungkin lebih kompleks, karena tantangan pembangunan era kekinian (digital) tak kalah beratnya.
Hal itu diakui pendakwah milenial Habib Husein Ja’far Al Hadar. Bagi dia, untuk maju itu perlu persatuan, kebersamaan, atau sinergi atau kolaborasi.
Masalahnya, persatuan pada era kekinian/digital itu menghadapi tantangan karena media sosial (medsos) justru berpotensi merusak rasa persatuan dengan mengumbar stereotipe tanpa data, karena itu generasi milenial diharapkan tidak mudah percaya begitu saja pada informasi dari medsos.
Janganlah kita punya stereotipe terhadap siapapun tanpa data, karena medsos membuat kita mudah merundung orang lain, mencaci, membenci, dan menuduh tanpa data, padahal itu teman sendiri, atau tetangga sendiri, yang sebenarnya bisa bertanya langsung.
Para pendahulu negeri ini sudah membuktikan bahwa kemerdekaan itu dapat diraih hanya dengan persatuan dan kebersamaan, atau tokoh NU KH Achmad Sidiq menyebut tiga ukhuwah, yakni basyariah (kesamaan bangsa), wathoniyah (kesamaan negara), dan islamiyah (kesamaan agama). Indah, kan?
Toleransi dan cinta
Tentang tantangan mewujudkan persatuan dan kebersamaan di era digital itu, Habib Ja’far bercerita bahwa dirinya sejak lahir dan besar di Bondowoso, Jawa Timur.
Hanya karena dirinya memiliki wajah Arab, maka Habib Ja’far pun dianggap orang lain, padahal dirinya tidak bisa berbahasa Arab dan suka masakan Indonesia. Secara berkelakar dia bercerita memang pernah ke Padang, tapi tidak pernah ke Padang Pasir. Cerita itu untuk menegaskan bahwa dirinya adalah Indonesia asli.
Namun, ulama muda yang selalu menyuarakan hidup damai dalam perbedaan keyakinan itu mengaku beruntung karena diajari ayahnya tentang pentingnya kesamaan, toleransi, dan kebersamaan. Karena itu, kuncinya adalah carilah kesamaan atau persamaan, termasuk di dunia digital, sebab konten-konten saling menyalahkan, menuduh, dan mencaci itu cukup banyak berseliweran di dunia medsos.
Jangankan mencaci orang tanpa data, bahkan polisi tidur pun disalahkan oleh orang Indonesia. Misalnya, jangan lewat gang X, karena di situ banyak polisi tidurnya. Polisi tidur pun dicari-cari kesalahannya.
Oleh karena itu, kalau konten yang diterima itu cuma memperpanjang perbedaan, maka sebaiknya ditinggalkan saja, karena Al Qur’an sendiri mengajarkan bahwa perbedaan itu memang diciptakan-NYA untuk “li ta’aarofu” atau saling mengenal, bukan membuat jarak.
Untuk menumbuhkan kesamaan dan persamaan itu, bangsa Indonesia harus memprioritaskan persamaan di antara perbedaan yang ada.
Jika di bangsa ini kita mau fokus mencari perbedaan, itu akan banyak sekali ditemuka, karena Indonesia memang memiliki keragaman dalam budaya, agama, suku, dan ras. Maka itu pilihannya hany satu, yaitu tonjolkan persamaan atau hal-hal yang sama saja. Secara kelakar, untuk urusan bubur saja, kita juga memiliki banyak perbedaan. Ada yang cara makannya bubur itu diaduk dulu, ada juga yang tidak.
Terkait keragaman itu, bangsa kita memiliki kearifan lokal yang juga banyak terkait kesamaan itu, yang kalau di Madura ada sebutan “tretan dibik”, kalau di Surabaya ada sebutan “dulur” atau “sedulur”, yang maknanya adalah saudara sendiri. Dulu, Bung Karno mengajak masyarakat berjuang dengan bambu runcing, karena bambu runcing itulah kesamaan kita. Jadi bambu runcing di masa lalu itu yang membangun kesamaan.
Jadi, masa pembangunan itu perlu menonjolkan kesamaan, terutama kesamaan sebagai Bangsa Indonesia, meski berbeda suku, agama, ras (pribumi-non), dan antargolongan (kaya-miskin). Persamaan bangsa ini juga banyak, seperti kesamaan bahasa, tapi bisa juga segala hal yang positif adanya, seperti prestasi yang membanggakan bangsa.
Nah, pada era digital ini justru sangat memerlukan bangunan persamaan, karena dunia digital justru memiliki perbedaan dalam jumlah yang berlipat-lipat untuk tujuan viral atau mengundang viewer, like, dan rating, yang jika tak disikapi dengan mengedepankan persamaan akan justru memorakporandakan bangsa ini.
Masa lalu sudah membuktikan bahwa selalu memandang persamaan itulah yang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan yang akhirnya mengantarkan bangsa kita merdeka. Sekarang, tantangan sudah berbeda, tapi kuncinya tetap, yakni kebersamaan untuk Indonesia Pusaka! Presiden Jokowi mengajak dan mengingatkan semua elemen bangsa ini bahwa kompetisi ke depan bukan kayak lari pagi, tapi lari maraton.
Perbedaan yang banyak itu tetap perlu dibalut dengan rasa cinta atau rasa bangga kepada semua orang Indonesia yang berbeda-beda dan sekarang juga sudah menyebar dimana-mana hingga Afrika. Kemenangan (merdeka, maju, dan mandiri) itu perlu kebersamaan. Ya, kita rayakan momentum HUT ke-78 Kemerdekaan RI dengan cinta dan kebersamaan bagi siapapun dan untuk apapun.