Warga Sipil – Meluasnya berita mengenai kematian Harimau Benggala yang dipelihara oleh selebritas Indonesia menuai polemik dari berbagai pihak. Harimau benggala sebenarnya bukan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia.
Namun, satwa ini masuk kategori sebagai satwa yang terancam punah berdasarkan lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN). Pakar Genetika Ekologi IPB University Prof Ronny Rachman Noor, meminta agar kematian satwa liar saat dipelihara oleh perorangan ini diusut tuntas.
Jika tidak, berita kematian harimau benggala di tangan orang awam yang meluas hingga ke manca negara akan mencoreng nama Indonesia di mata dunia di bidang penanganan dan konservasi satwa liar, termasuk pihak berwenang RI yang mengeluarkan izin. Ia menegaskan, satwa liar yang dilindungi bukanlah barang mainan ataupun hewan peliharaan.
ADVERTISEMENT
“Artinya, tidak boleh seenaknya dipelihara oleh orang awam yang dinilai tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan luas terkait satwa liar,” katanya dalam keterangan pers, Kamis, 3 Agustus 2023.
Menurut dia, kematian satwa liar saat dipelihara menunjukkan pengetahuan pengelola akan satwa liar sangat minim. Pengusutan kasus kematian satwa dilindungi, menurut Ronny, juga perlu menguak bagaimana konsesi pemeliharaan satwa liar bisa jatuh pada perorangan dan bagaimana pengetahuan orang tersebut terkait satwa liar.
Lebih lanjut, Ronny mengatakan, dari segi psikologi maupun fisiologi, pada umumnya satwa liar yang ditangkap dan dipindahkan ke lingkungan baru yang bukan merupakan habitat aslinya dapat dipastikan akan mengalami stres. Stres yang terjadi pada satwa dapat menyebabkan fenomena perubahan ekstrem metabolisme dan fisiologi di dalam tubuhnya.
“Bagi orang awam, satwa liar yang dipelihara oleh perorangan maupun oleh lembaga seperti kebun binatang maupun taman safari dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap satwa liar. Namun, pada kenyataanya pembatasan gerak menjadi salah satu faktor pemicu stres dan kematian,” tutur Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan itu.
Sebagai contoh, harimau sumatera di alam memiliki daya jelajah yang cukup luas (puluhan dan bahkan ratusan kilometer persegi untuk setiap ekornya). Dengan demikian, paling tidak memerlukan tempat pemeliharaan yang cukup luas pula di tempat penampungan barunya.
“Pada prinsipnya, setiap hewan termasuk satwa langka memiliki zona homeostasis (zona ideal di mana hewan dapat tumbuh dan bereproduksi) untuk setiap kondisi fisiologi tubuhnya. Jika terjadi perubahan lingkungan yang drastis, maka satwa langka akan berusaha mengembalikan dirinya dari kondisi fisiologis ke kondisi yang mendekati zona homeostasisnya dengan cara mengalokasikan energi dan berbagai sumber daya lain di dalam tubuhnya,” kata Ronny.
Akibatnya, lanjut dia, pengalihan energi dan sumber daya pada tubuh satwa liar berefek terhadap defisitnya energi dan sumber daya untuk kebutuhan lain, seperti untuk kebutuhan hidup pokok (basal/fasting metabolic rate). Biasanya hal itu juga akan mengorbankan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.
“Jika stres ini tetap berlanjut, maka satwa langka akan mengorbankan alokasi energi dan sumber daya lainnya lebih banyak untuk mengatasi stres. Kondisi itu akan berakibat satwa langka tidak dapat bereproduksi. Bahkan, pada tahap satwa liar tidak dapat mengatasi stres yang lebih besar lagi, maka satwa langka akan mati ,” ungkap dia.
Ronny menjelaskan, konsep konservasi melalui pemeliharaan satwa langka di kebun binatang, termasuk pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan, sudah banyak ditinggalkan dalam ilmu konservasi modern, terlebih yang menerapkan sistem pengandangan, karena pembatasan ruang gerak akan memicu stres.
Menurutnya, konsep konservasi in situ seperti pemeliharaan satwa langka di suaka margasatwa dan taman konservasi dinilai yang paling tepat, walaupun memerlukan biaya yang tinggi.***