wargasipil.com – Drama Korea (drakor) The Glory tengah digandrungi dan menjadi bahan perbincangan publik. Dibintangi Song Hye Kyo, drakor yang tayang di Netflix tersebut mengisahkan pembalasan dendam korban bullying alias perundungan yang disiksa teman sekolahnya sendiri hingga menderita luka fisik dan psikis yang berat.
Disebut-sebut, drama tersebut terinspirasi dari kisah nyata. Cerita perundung yang menempelkan alat catok panas ke korban sangat mirip dengan kasus kekerasan yang terjadi di Cheongju, Chungcheong pada 2006.
Dalam kisahnya, Moon Dong Uun (Song Hye Kyo) mendapat pengalaman intimidasi yang kejam oleh sesama siswa. Sampai pada akhirnya, kejadian ini memaksanya keluar dari sekolah dan melepas impian yang ingin dicapai. Sejak saat itu, ia menghabiskan 18 tahun hidupnya untuk menyiapkan balas dendam.
Bullying atau perundungan menjadi masalah global yang amat mengganggu kehidupan kaum muda, terutama siswa di sekolah. Menurut sebuah survei pada 2022, kasus perundungan meningkat di Korea Selatan sebesar 25,4 persen dalam satu tahun.
Kasus perundungan di Korea Selatan sontak menjadi sorotan usai drama ini tayang. Tidak sedikit korban yang akhirnya bersuara dan menyebut kekerasan yang mereka alami jauh lebih parah dari yang diberitakan.
Lantas benarkah bahwa The Glory terinspirasi oleh peristiwa nyata?
Kim Eun Sook, penulis drama The Glory menyebut bahwa kisah ini tidak dibuat berdasarkan kisah nyata. Namun karena berkaitan dengan topik seperti kekerasan di sekolah, maka aspek realitas sangat tertanam dalam narasinya.
Pada konferensi pers jelang penayangan The Glory pada Desember 2022 lalu, Kim Uen Sok mengungkap bagaimana The Glory punya arti khusus di hatinya.
“Saya orang tua dengan anak perempuan yang akan masuk kelas 11. Kekerasan di sekolah adalah topik yang dekat dengan keluarga saya,” paparnya, dikutip dari The Cinemaholic.
Penulis juga membeberkan bagaimana ide naskah tersebut muncul dalam benaknya. Ternyata, inspirasi itu datang dari sang putri yang bertanya soal perundungan padanya.
“‘Apakah ibu akan sangat terluka jika aku memukuli seseorang atau dipukuli sampai mati?'” kenang Eun Sok.
Kim Eun Sok pun melakukan penelitian secara ekstensif tentang kekerasan di sekolah dan berbicara dengan banyak korban. Yang membuatnya terkejut, para korban ternyata hanya menginginkan permintaan maaf yang tulus dari para pelaku.
“Ini bukan tentang mendapatkan sesuatu (seperti ganti rugi), melainkan mendapatkannya kembali (jati diri). Di saat terjadi kekerasan, korban akan kehilangan hal-hal yang tidak dapat dilihat, seperti martabat, kehormatan, dan kemuliaan,” paparnya.