Setara Institute menilai langkah negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu justru mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas diselesaikan. Hal ini terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pidato Kenegaraan yang disampaikan pada Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8).
Dalam pidatonya, Jokowi menyampaikan dua hal terkait upaya penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu, yaitu (1) RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang dalam proses pembahasan; dan (2) Keputusan Presiden Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah ditandatangani.
Menurut Setara Institute, dalam draft Keppres yang beredar, Tim ini disingkat Tim Paham dengan sejumlah anggota yang di antaranya dianggap sebagai sosok bermasalah terkait pelanggaran HAM masa lalu.
“Setara Institute memandang Pembentukan Tim Paham hanyalah proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas diselesaikan oleh negara. Langkah pemerintah membuktikan bahwa Jokowi tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling) menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, bahkan yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM,” demikian keterangan tertulis Setara Institute, dikutip Kamis (18/8).
Setara Institute menilai, alih-alih merangkai kepingan fakta dan informasi untuk mengakselerasi mekanisme yudisial sesuai amanat UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan.
Menurutnya, Jokowi sejatinya mengingkari mandat UU 26/2000 dengan pilihan non yudisial yang telah ditetapkan melalui pembentukan Tim PAHAM. Ketentuan perundang-undangan tersebut mengatur, penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
“Daya rusak Tim PAHAM ini akan berdampak luar biasa pada upaya pencarian keadilan, karena tidak diberi mandat pencarian kebenaran untuk memenuhi hak korban dan publik (right to the truth) sebagai dasar kelayakan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses pengadilan HAM, atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial,” tulis mereka.
Setara Institute menilai, mekanisme non-yudisial yang dipilih pemerintah merupakan bentuk pengampunan massal dan cuci tangan negara serta melembagakan impunitas yang semakin kukuh dan permanen. Negara seharusnya membuka kembali persetujuan terkait rekomendasi Universal Periodic Review PBB 2017 untuk menguatkan komitmen dan meneruskan usaha melawan impunitas.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.