Terinspirasi pemekaran Papua, menurut Andi, banyak daerah yang juga turut menuntut jadi daerah otonom. “Kami sama-sama berjuang agar moratorium itu bisa dibuka. Seperti, misalnya Nias. Itu (usulan pemekaran) bahkan sudah mendapat sinyal dari Presiden,” imbuh dia.
Sebelum moratorium berlaku, Kemendadri mencatat ada 223 DOB yang dibentuk sepanjang 1999-2014. Dari hasil evaluasi pada 2009, Kemendagri menemukan sekitar 80% DOB dianggap gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Andi memaklumi data itu. Namun, ia berdalih pengalaman DOB-DOB tak bisa dipukul rata. “Tidak semua daerah yang telah dimekarkan pasca-Reformasi itu juga buruk. Sebagai contoh, Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara itu bagus,” kata Andi.
Hasrat pemekaran wilayah juga kencang disuarakan di Kabupaten Bogor. Tak hanya elite politik lokal, Pemkab Bogor juga menghendaki adanya pemekaran wilayah baru. Asisten Pemerintahan (Aspem) Pemkab Bogor, Hadijana mengatakan pemda ingin ada dua daerah pemekaran baru, yakni Kabupaten Bogor Barat dan Kabupaten Bogor Timur.
“Kenapa Bogor mesti dimekarkan? Karena wilayah Kabupaten Bogor sangat luas dan perlu peningkatan pelayanan kepada masyarakat agar menjadi lebih dekat cepat,” kaya Hadijana saat dihubungi Alinea.id, Rabu (13/7).
Hadijana mengatakan bila usulan pemekaran wilayah di Kabupaten Bogor sudah ada di tangan Kemendagri. “Kami hanya tinggal menunggu kebijakan moratoriumnya dicabut saja,” kata Hadijina.
Evaluasi pemekaran
Kebijakan moratorium pembentukan DOB mulai diberlakukan pada 2014. Meski begitu, keinginan daerah untuk jadi wilayah otonom tak padam. Sejak moratorium berlaku, setidaknya sudah ada 329 usulan pemekaran wilayah yang sampai ke Kemendagri.Rinciannya, sebanyak 56 calon provinsi baru, 236 calon kabupaten baru, dan 37 calon kota baru.
“Di antara 56 provinsi tersebut masih terdapat usulan pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan yang telah mendapat persetujuan bersama DPR RI dengan pemerintah,” kata Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Kemendagri Valentinus Sudarjanto Sumito kepada Alinea.id, Rabu (13/7).
Meski desakan pencabutan menguat, Valentinus menegaskan Kemendagri belum berencana mencabut moratorium DOB. Ia merinci sejumlah kebijakan yang jadi dasar Kemendagri mempertahankan moratorium. Salah satunya hasil sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada 10 Maret 2016 yang masih merekomendasikan moratorium.
Saat ini, menurut Valentinus, pemerintah juga tidak memiliki banyak anggaran untuk melakukan pemekaran DOB. Pasalnya, mayoritas anggaran negara terkuras untuk penanganan pandemi Covid-19 dan program-program prioritas lainnya.
“Sebagai contoh pemberian dana desa yang dalam APBN tahun 2020 sebesar Rp71,2 triliun dan dalam RAPBN Tahun 2021 sebesar Rp72 triliun atau naik sebesar 1,1%. Selain itu, program pencegahan stunting, program jaminan, dan program-program sosial lainnya,” kata dia.
Lebih jauh, Valentinus mengatakan tidak tepat jika isu pemekaran Papua dijadikan alasan untuk menuntut pencabutan moratorium DOB. Pasalnya, pemekaran Papua dilakukan dalam konteks mengimplementasikan Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“Itu (pemekaran) merupakan usul DPR RI dan dilakukan secara top-down bersama pemerintah dengan memerhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat setempat, khususnya orang asli Papua. Pemekaran tiga provinsi di Papua dilakukan dalam rangka implementasi otsus dan berdasarkan pembagian wilayah adat Papua,” jelas dia.
Lebih jauh, Valentinus mengatakan pemerintah terus mengevaluasi kinerja pemerintah daerah hasil pemekaran pada periode 1999-2014. Dalam evaluasi dua tahun terakhir, Kemendagri masih banyak menemukan persoalan tata kola di DOB-DOB tersebut, semisal terkait penegasan batas daerah, pengalihan aset, realisasi hibah, serta ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan.
“Apabila kebijakan moratorium dicabut, pemekaran daerah dilakukan secara terbatas dan berkaitan dengan kepentingan strategis nasional, kepentingan politik, dan kebutuhan masyarakat dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara, termasuk pertimbangan teknis lainnya sebagai hasil evaluasi pembentukan daerah pada periode sebelumnya,” kata Valentinus.
Mengacu pada pemekaran wilayah baru di Papua, anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menganggap wajar jika banyak daerah kini menuntut pemekaran wilayah. Apalagi, selama moratorium diberlakukan pemerintah pusat, terjadi dinamika yang mengakibatkan perubahan “identitas” di berbagai daerah.
“Moratorium hampir lima tahun ini juga tidak sehat. Ada banyak perkembangan dan perubahan, baik demografi hingga geografi dan psikografi dari masyarakat. Bertambahnya DOB di Papua dapat menjadi pintu masuk bagi pembahasan serius beberapa kondisi masyarakat yang perlu pemekaran, baik di Jawa atau di luar Jawa,” ucap Mardani kepada Alinea.id, Selasa (12/7).
Mardani menyarankan agar Kemendagri menyusun kajian ilmiah mengenai rancang bangun pemekaran wilayah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, setidaknya sampai 2045. Desain itu, kata dia, nantinya bisa digunakan sebagai dasar pemekaran-pemekaran wilayah selanjutnya saat moratorium dicabut.
“Akan sangat baik jika dibuat perencanaan hingga tingkat desa termasuk manajemen pengelolaan anggaran dan otoritasnya. Saatnya pemerintah untuk berani melakukan pengambilan keputusan yang dapat memperbaiki kualitas pengelolaan daerah bagi kemakmuran rakyat,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ilusi kesejahteraan
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman berharap pemerintah tidak mencabut moratorium pembentukan DOB. Berbasis kajian yang digelar KPPOD, Arman mengatakan banyak daerah hasil pemekaran yang kinerjanya melempem.
“Kami melakukan pengamatan pada indeks tata kelola otonomi daerah yang dibuat oleh KPPOD dan juga indeks daya saing. Ada beberapa hal, yang menurut kami, butuh penanganan dan mungkin kalau pakai bahasa yang lebih negatif yang menjadi sumber penyakit. Ada kepala-kepala daerah yang tidak punya terobosan sehingga daerahnya begitu-begitu saja,” ucap Armand kepada Alinea.id, Selasa (12/7).
Persoalan utama yang mengganjal pemekaran ialah keterbatasan anggaran. Menurut Armand, daerah-daerah yang dimekarkan tidak punya cukup duit untuk membiayai program-program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Apalagi, kini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah diberlakukan. Dengan berlakunya UU itu, banyak daerah yang kapasitas fiskalnya jadi kian terbatas.
“Terutama pada bagian pendapatan asli daerah dari retribusi daerah. Itu juga tidak menjamin daerah bisa meningkatkan kebijakan fiskalnya karena pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten kota itu masih pajak-pajak kecil. Itu juga sifatnya sangat bias perkotaan. Artinya, hanya menguntungkan kabupaten, kota atau provinsi yang berkarakter urban,” kata Armand.
Armand menyarankan agar masyarakat di daerah yang sedang menuntut pemekaran tidak gampang terbuai janji kesejahteraan yang acapkali digembar-gemborkan elite lokal. Menurut dia, sudah banyak DOB yang gagal memperbaiki kehidupan masyarakat setempat karena elite lokal tidak mampu mengelola pemerintahan dengan baik.
“Kalau berkaca dari beberapa daerah di Papua, itu sebenarnya banyak pula yang justru setelah dimekarkan tidak menjamin kesejahteraan dan hanya menawarkan ilusi. Agar tidak menawarkan ilusi-ilusi di masa depan, makanya kita mendorong kepada pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi sistematis ke seluruh daerah-daerah yang ada sekarang,” ucap Armand.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan mengatakan pemekaran wilayah bukan satu-satunya cara mengakomodasi aspirasi publik terkait peningkatan kesejahteraan di daerah. Jika dimungkinkan, pemerintah juga bisa menggabungkan daerah otonom sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
“Memang memungkinkan adanya pemekaran daerah atau pembentukan DOB, namun demikian dalam UU tersebut juga dimungkinkan adanya penggabungan daerah otonom. Penggabungan daerah otonom dilakukan dalam hal daerah otonom tersebut tidak mampu melaksanakan otonomi,” kata Fauzan kepada Alinea.id, Senin (11/7).
Fauzan sepakat banyak daerah otonom lahir semata karena hasrat elite-elite politik. Padahal, daerah tersebut tidak punya kemampuan finansial untuk membiayai dan menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri.
Ia menyebut banyak daerah dimekarkan dengan motif ingin memperoleh limpahan anggaran dari pemerintah pusat. Karena hanya berharap anggaran dari pusat, kepala daerah otonomi itu pun tidak serius mengelola anggaran di daerah.
“Politik kekuasaan yang terjadi. Tetapi, itu kan bisa dievaluasi sebenarnya. Karena hampir pasti dengan terbentuknya DOB, kebutuhan akan dana atau transfer dana ke daerah semakin tak terelakkan,” kata Fauzan.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.