Dua tahun food estate: Menambah pundi pendapatan petani

Dua tahun food estate: Menambah pundi pendapatan petani

Menurutnya, petani bisa meraup hasil sekitar Rp7 juta sampai Rp8 juta per hektare per 6 bulan. “Karena panen masih setahun dua kali. Tahun 2021 panen tiga kali, tapi ada hama tikus bulan November,” tambahnya yang memimpin 64 anggota kelompok tani Blanti Siam di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah ini.

Karenanya, Hartoyo mengaku gembira bisa menikmati program food estate di tengah persoalan yang melanda petani seperti sulitnya mengakses benih dan pupuk. Belum lagi, food estate juga meningkatkan edukasi bagi petani untuk melakukan tumpang sari lahan dengan jenis sayuran maupun hortikultura.

Hal ini juga menambah pendapatan petani jika digarap dengan serius. Tanaman di pematang sawah ini bisa menghasilkan Rp4 juta sampai Rp5 juta saat setiap kali musim panen, yakni dua kali dalam setahun. “Tapi ini butuh tenaga dobel,” ungkapnya.

Di samping itu, food estate juga membuka peluang petani meraih pendapatan lain dari ternak ayam dan bebek petelur. Sebagian kecil lainnya juga berternak sapi dan kambing. Program lumbung pangan ini telah memberikan bantuan bibit yang selanjutnya bergantung pada usaha petani untuk menambah pundi pendapatan dari ternak. 

Bangkit setelah tertidur 30 tahun

Hasil food estate juga mulai dirasakan petani di Wonosobo, Jawa Tengah. Seperti halnya dirasakan Saiful Rokib yang menyebut ada perubahan cukup nyata bagi petani paska food estate hortikultura dirilis 2021 silam. Ketua Kelompok Tani Sido Mulyo di Kecamatan Watumalang, Wonosobo, Jawa Tengah ini mengaku mendapat bantuan bibit bawang putih beserta mulsa dan pupuk.

Alhasil, komoditas bawang putih yang sudah ‘tertidur’ sejak era 90-an kembali bangkit. Pasalnya komoditas ini cukup menantang dan kurang menguntungkan bagi petani. Terutama karena belum jelasnya pasar dan hasil yang membuat petani kerap ‘nombok’

Namun, dengan bantuan pemerintah, petani bisa kembali menanam komoditas ini melalui program food estate. “Kelompok kami masuk pilot project (food estate hortikultura) tahun 2021. Kami menanam bawang putih 16 hektare dengan jumlah anggota 38, yang nanam bawang putih 35 orang,” bebernya. 

Selain bawang putih, food estate di Wonosobo juga mengusahakan komoditas hortikultura lain, yakni cabai, kentang, dan bawang merah. Namun, menurut Saiful, komoditas bawang putih menjadi asa baru bagi petani karena sempat meredup lebih dari 30 tahun. 

Ia mengaku baru mengalami satu kali panen, mengingat komoditas bawang putih tidak ditanam secara serentak karena bergantian dengan musim tanam komoditas lain. “Sebelum ada food estate kami enggak tahu pemasaran, belum ada off taker dan sebagainya. Setelah ada food estate walau menanamnya bawang putih tapi ilmunya banyak. Jadi, petani komoditas lain juga kena dampak,” sebutnya.

Belum lagi, food estate juga membuka wawasan petani terutama dalam hal permodalan melalui akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta pelatihan-pelatihan yang cukup masif. Misalnya pelatihan untuk menambah nilai suatu komoditas seperti cabai yang diolah menjadi cabai bubuk. Maka, ketika harga cabai jatuh, petani bisa mengolahnya jadi cabai bubuk dan dijual dengan harga lebih mahal. 

“Selisih harga bawang putih juga bagus, dan petani tenang karena jelas ada yang beli. Offtaker menyampaikan beli harga Rp12.000 per kilogram tapi nyatanya setelah kita panen malah dibeli lebih dari itu, Rp16.000 per kilogram. Paling rendah Rp12.000 per kilogram, kalau bawang bagus bisa Rp17.000 per kilogram, yang jelek antara Rp13.000-Rp14.000 per kilogram,” paparnya.

Menurutnya, ongkos produksi bawang putih masih terbilang mahal, baik dari bibit, pupuk, hingga tenaga kerja. Untungnya, program food estate ini menyalurkan bantuan benih, pupuk dan mulsa sekaligus yang mampu memangkas biaya produksi.

Dua tahun food estate: Menambah pundi pendapatan petani

“Kalau dulu nanam secara mandiri dan dibeli harga murah sudah pasti ‘melempem’ lagi. Sekarang kalau dihitung per kilogram bawang putih basah Rp10.000 per kilogram. Karena dari basah ke kering butuh tenaga juga jadi potensi panen per hektare 5-6 ton,” sebutnya.

Dengan harga jual tersebut, lanjutnya, petani masih untung Rp3.000 per kilogram karena biaya produksi bawang putih mencapai Rp7.000 per kilogram. Sementara hasil panen setelah food estate pun meningkat menjadi sekitar 6 ton per hektare,dari sebelumnya hanya berkisar 4 ton. Terkait keberlanjutan penanaman bawang putih, Saiful menyatakan para petani akan tetap menanam karena sudah mendapat bantuan pemerintah plus berbagai macam pelatihan.

“Misal sehektare menghasilkan 6 ton tinggal dikalikan selisihnya lumayan, program food estate mberkaih, banyak sekali keuntungan kalau bisa jangan berhenti, enggak hanya uang tapi ilmu kami dapat,” ungkapnya.

Pasalnya, selain menanam bawang putih, petani juga bisa menanam komoditas lain secara tumpang sari. Misalnya sayuran kol, terong, hingga bawang merah. Karena luas lahan yang terbatas, para petani pun memaksimalkan tiap inci lahan dengan berbagai tanaman.

“Jadi walaupun sedikit, panen mipil, tiap minggu ada pendapatan,” tambah Saiful.

Plus setiap komoditas juga ditanam bergantian dalam setahun menyesuaikan dengan cuaca. Jika bawang putih hanya panen setahun sekali, maka bawang merah memiliki masa panen 3 kali dan menyusul komoditas sayuran dan tembakau.

“Jadi perputaran per tahun enggak pernah putus,” tuturnya.

Kendala infrastruktur

Meski demikian, pelaksanaan food estate belumlah sempurna. Ketua Kelompok Tani Blanti Siam Hartoyo menyebut program ini masih terkendala dari sisi infrastruktur saluran irigasi. Pasalnya, tak seperti di Pulau Jawa infrastruktur irigasi di Kalimantan Tengah masih sangat terbatas.

“Kita di Kalimantan diatur air, beda kalau di Jawa, kita yang mengatur (air),” selorohnya.

Apalagi, sistem pengairan di Kalimantan terganjal saluran irigasi primer dan tersier yang belum terhubung sempurna. Belum lagi pendangkalan saluran karena belum dikeruk membuat arus air kian terhambat.

“Ada kendala sedikit untuk saluran sekunder, kurang begitu maksimal untuk air, lambat soalnya agak dangkal, jadi harus dikeruk,” tambah dia.

Masalah keterbatasan infrastruktur juga dipaparkan Saiful Rokib dari Wonosobo. Berbeda dengan lahan sawah di Kalimantan yang kesulitan air, pihaknya mengalami hambatan di infrastruktur jalan. Apalagi, wilayah Watumalang adalah daerah pegunungan dengan kontur jalan turun naik. 

“Kalau bisa jalan dibangun agar enggak licin,” pintanya.

Kendala lain, lanjutnya, adalah akses pada teknologi pertanian yang kurang. Mengingat untuk bisa mengadopsi digital farming membutuhkan modal yang cukup besar plus perlu pendampingan pelatihan. Padahal, teknologi yang sempat disosialisasikan ini sangat dinanti-nanti petani untuk mendongkrak hasil panen. Apalagi ada alat yang bisa digunakan dalam radius 3 kilometer sehingga bisa dipakai oleh ribuan petani.

“Contoh kita mau kasih obat, hari ini kira-kira hujan jam berapa, lalu kita punya alat tester tanah. Sensor tanah dan cuaca ini sangat dinanti-nanti untuk menekan biaya produksi dan kontrol hama,” tambahnya.

Menanggapi kendala infrastruktur, Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Erwin Noorwibowo menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Terutama untuk melakukan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi berdasarkan blok untuk food estate Kalimantan Tengah.

“Awalnya proyek ini mau dikerjakan semua tapi 2021 ada pengerucutan pengerjaan blok. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian PUPR untuk mengerjakan blok-blok lain untuk atasi permasalahan seperti di Pulang Pisau,” sebutnya di acara yang sama.

Foto Pixabay.com.

Lebih lanjut, soal penerapan digitalisasi pertanian juga akan dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan anggaran. “Karena perlu menguatkan kelompok tani dengan digitalisasi baik melalui peningkatan sumber daya manusia ataupun sarana digital tapi karena keterbatasan anggaran semua dilakukan bertahap,” tambah Erwin.

Menuju korporasi

Erwin mengatakan Indonesia telah diganjar penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilan mewujudkan swasembada beras dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Penghargaan ini menjadi bukti bahwa Indonesia mampu mewujudkan ketahanan pangan dan pemenuhan pangan di dalam negeri.

Karena itu pula, program food estate menjadi sangat penting untuk terus dijalankan. Mengingat kondisi luas lahan baku sawah sebesar 7,4 juta hektare masih terancam beralih fungsi 100 ribu hektare per tahunnya. Di sisi lain pertumbuhan penduduk kurang lebih 2,7 juta jiwa per tahun dengan konsumsi pangan (beras) 111,58 kilogram/kapita/tahun. Lalu, Indeks pertanaman (IP) padi 1,4 dengan luas panen sekitar 10,66 juta hektare. Di mana produktivitas sebesar 5,19 ton GKG per hektare dan produksi total 54,65 juta ton GKG

“Kebutuhan beras nasional 30,56 juta ton per tahun, ada overstock 4,42 juta ton,” bebernya.

Dia menambahkan perlu ada penambahan areal luas tanam melalui ekstensifikasi dan intensifikasi lahan demi menjamin ketersediaan pangan. Dia menambahkan dalam penentuan target lokasi Area of Interest (AOI) kawasan food estate, pihaknya sudah melalui analisa dan penapisan terhadap peta-peta teknis yang dimiliki oleh kementerian teknis/lembaga terkait.

Di samping menyiapkan lahan, lanjutnya, misi besar pemerintah adalah mendorong petani bertransformasi menjadi korporasi sehingga memiliki kapasitas lebih tinggi. Pemerintah pun sudah menggandeng BUMD maupun pihak swasta untuk bekerja sama mewujudkan hal tersebut.

“Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi budidaya dan kemampuan intervensi pasar baik marketplace maupun ekspor,” tambahnya.

Lebih lanjut, dia memaparkan hasil pelaksanaan food estate di Kalimantan Tengah yang cukup positif. Tercatat, program lumbung pangan di Kalimantan Tengah telah memproduksi 163.728 ton GKG setara Rp900,66 miliar.

“Terjadi total peningkatan produksi sebesar 43.268 ton GKG,” sebutnya. 

Adapun jenis kegiatan ekstensifikasi lahan berupa konstruksi lahan sawah berupa land clearing, land levelling, perbaikan jalan usaha tani, perbaikan irigasi tingkat usaha tani, pembuatan tanggul saluran, pembuatan pematang/galengan, dan pemasangan pipa. Begitu juga dengan kegiatan pengolahan tanah dan tanam.

Tangkapan layar webinar

Lalu ada program budidaya sayuran seluas 233 hektare untuk jenis sayuran cabai, terong, bawang daun, sawi, buncis, tomat, kangkung, kacang panjang, seledri, dan bayam. Produksinya mencapai 1.546 ton senilai Rp24,92 miliar. Kemudian ada pula program budidaya tanaman buah seluas 590 hektare.

“Potensi produk buah 12.626 ton senilai Rp79,55 miliar, untuk buah seperti jeruk, durian, kelengkeng yang akan berbuah tahun ke 3-4, dan pisang berbuah tahun berjalan,” papar Erwin.

Lalu, budidaya kelapa genjah 178.000 pohon dengan potensi produk buah kelapa Rp71,84 miliar per tahun. Serta, budidaya itik petelur 55.560 ekor dengan jumlah produksi telur 1.399.515 butir senilai Rp4,71 miliar.

“Yang penting bagaimana kita menyiapkan pondasi dasar untuk pangan masa depan. Ini lahan gambut yang selama ini tidur, memiliki permasalahan sangat luar biasa , infrastruktur belum lengkap, alam dan keberadaan petani. Tapi kalau enggak mulai sekarang kapan lagi dan kalau enggak bersama, siapa lagi,” tutupnya.

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
 


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.