wargasipil.com – OPEC+ memutuskan akan memotong produksi minyak mentah meskipun pihak Amerika Serikat terus menekan keputusan tersebut. Hal ini membawa harga minyak mendekati US$100 per barel.
Pada perdagangan Jumat (7/10/2022) harga minyak Brent tercatat US$97,92 per barel, melesat 3,71%. Sementara jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) melonjak 4,754% ke US$92,64 per barel. Sepanjang pekan kedua acuan minyak mentah tersebut melambung 11,32% dan 16,54%. Ini merupakan kenaikan terbesar sejak Februari 2022 saat konflik Rusia dan Ukraina memanas.
Harga minyak mentah dunia mencatatkan kerja positif sepanjang pekan ini. Selama lima hari perdagangan, minyak mentah tidak pernah absen untuk selalu berada di zona hijau. Penguatan ini didorong oleh pemotongan produksi minyak oleh OPEC+
Kelompok produsen minyak mentah dunia, OPEC+, sepakat untuk melakukan pengurangan produksi yang dalam. Ini merupakan usaha untuk memacu pemulihan harga minyak mentah dunia. Namun, pemotongan tersebut mendapat tentangan dari Amerika Serikat yang mendesak produksi lebih banyak untuk membantu ekonomi global.
OPEC dan OPEC+ memutuskan mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari (bph) pada pertemuan yang diselenggarakan di Wina pada Rabu (5/10/2022). Angka tersebut menjadi pemotongan yang terbesar sejak pandemi Covid-19 pada 2020 yang memangkas 10 juta bph.
Sebelumnya para pelaku pasar energi memperkirakan OPEC+ akan memberlakukan pengurangan produksi antara 500.000 dan 2 juta barel per hari.
Harga minyak telah jatuh menjadi sekitar US$$80-90 per barel dari lebih dari US$120 pada awal Juni di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang prospek resesi ekonomi global.
Produksi minyak mentah yang dipotong sebesar 2 juta barel sebenarnya masih lebih kecil dari angka di lapangan, di mana produksi OPEC+ turun 3,6 juta barel per hari pada Agustus.
Kurangnya produksi terjadi karena sanksi Barat terhadap negara-negara seperti Rusia, Venezuela dan Iran. Ditambah dengan masalah produksi dengan produsen seperti Nigeria dan Angola.
Harga minyak mentah juga didukung oleh pasokan, stok minyak mentah, bensin dan persediaan sulingan AS yang turun pekan lalu, menurut data Administrasi Informasi Energi (EIA). Persediaan minyak mentah mencatat penarikan secara mengejutkan sebesar 1,4 juta barel menjadi 429,2 juta barel.
Stok bensin AS turun lebih dari yang diperkirakan sebesar 4,7 juta barel, sementara stok sulingan, yang meliputi solar dan minyak pemanas, juga mencatat penarikan yang lebih besar dari perkiraan, turun 3,4 juta barel.
Gedung Putih Menentang
Meskipun demikian, Gedung Putih mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Biden “kecewa dengan keputusan picik OPEC+ untuk memotong kuota produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi ke Ukraina.”
Dikatakan bahwa Biden telah mengarahkan Departemen Energi untuk melepaskan 10 juta barel lagi dari cadangan minyak strategis bulan depan.
“Mengingat tindakan hari ini, Administrasi Biden juga akan berkonsultasi dengan Kongres tentang alat dan otoritas tambahan untuk mengurangi kendali OPEC atas harga energi,” kata Gedung Putih.
Pernyataan itu menambahkan bahwa pengumuman OPEC+ berfungsi sebagai “pengingat mengapa sangat penting bahwa Amerika Serikat mengurangi ketergantungan pada sumber bahan bakar fosil asing.”
Berbicara pada konferensi pers, Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais membela keputusan kelompok itu untuk memberlakukan pengurangan produksi yang dalam, dengan mengatakan OPEC+ berusaha untuk memberikan “keamanan (dan) stabilitas ke pasar energi.”
“Semuanya memiliki harga. Keamanan energi memiliki harga juga,” jawab Al Ghais kepada CNBC Internasional.
Goldman Sachs: Harga Minyak ke US$110 per Barel
Goldman Sachs pun menaikkan perkiraan harga minyaknya untuk tahun ini dan 2023, pengurangan produksi yang disepakati oleh produsen OPEC+ menjadikan harga minyak “sangat bullish” untuk ke depan.
Jika pengurangan terbaru dalam output oleh OPEC+ dipertahankan hingga Desember 2023, itu akan membuat harga minyak naik US$25 per barel dari perkiraan Brent mereka, dengan potensi lonjakan harga yang lebih tinggi jika persediaan benar-benar habis, menurut Goldman Sachs dalam sebuah catatan.
Goldman Sachs menaikkan perkiraan harga Brent 2022 menjadi US$104 per barel dari US$99 per barel dan perkiraan 2023 menjadi US$110 per barel dari $ US108 per barel.
Bank asal Amerika Serikat tersebut juga menaikkan perkiraan harga Brent kuartal keempat 2022 dan kuartal pertama 2023 masing-masing sebesar US$10 per barel menjadi US$110 dan US$115 per barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website cnbcindonesia.com. Situs https://wargasipil.com adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://wargasipil.com tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”