“Donga Tirto Kencono” demi rakyat “Kalis ing Kahanan”

Warga Sipil – Dalang Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Sih Agung Prasetyo (37), sebegitu dalam menumpahkan hormat kepada pemuka spiritual kejawen komunitas seniman petani tersebut, Sitras Anjilin (63), tatkala menerima potongan tumpeng dalam prosesi ritual “Donga Tirto Kencono”.

Potongan tumpeng penanda akhir prosesi di panggung terbuka yang kaya nilai seni, inspirasi, dan bernuansa estetika, Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, belum segera diterimanya. Ia terlebih dahulu dengan takzim mencium tangan dan memeluk erat-erat salah seorang sesepuh komunitas yang melingkupi Gunung Merapi, Merbabu, Anding, Sumbing, dan Menoreh itu.

Secara personal, Sih Agung yang juga Kepala Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, usai prosesi pada Minggu (13/6) malam, mengakui adanya kekuatan getaran dalam momentum kilat itu yang merasuki batin dan raganya.

Lebih dari 60 orang, baik para tokoh Komunitas Lima Gunung, budayawan, dan perintis berdiri komunitas itu, Sutanto Mendut (69), dan puluhan warga Dusun Sudimoro mengikuti prosesi “Donga Tirto Kencono” sebagai pembuka rangkaian Festival Lima Gunung XXII/2023.

Festival mandiri desa dan tanpa sponsor setiap tahun, termasuk saat 3 tahun pandemi COVID-19 yang lalu, oleh komunitas tersebut tahun ini digelar di Dusun Sudimoro selama 25-27 Agustus 2023. Kepala DusunSih Agung memanfaatkan rangkaian peristiwa itu untuk menggelar tambahan agenda “Tujuh belasan” (Perayaan HUT Kemerdekaan RI) warga kampungnya pada 24 Agustus 2023 dalam kemasan seni budaya kontemporer.

Panitia telah memantapkan data pengisi festival, antara lain, 79 kelompok kesenian dengan total personel 1.662 orang, baik dari daerah setempat maupun sejumlah kota di Indonesia dan seniman luar negeri. Sajian festival, antara lain, pementasan tari, musik, puisi, performa seni, pameran seni rupa, kirab budaya, pidato kebudayaan, dan pemberian penghargaan Komunitas Lima Gunung kepada sejumlah tokoh.

Pada festival tahun lalu di Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak dengan tema “Wahyu Rumagang”, Komunitas Lima Gunung memberikan penghargaan kepada Yenny Wahid (Direktur Wahid Instiute), sedangkan tahun ini di Dusun Sudimoro dengan tema “Kalis ing Kahanan”, penghargaan diberikan, antara lain, kepada Garin Nugroho (sutradara film) dan Franki Raden (musikus).

Ritual “Donga Tirto Kencono” diawali dengan pengumpulan air dalam 13 kendi oleh para tokoh dan pegiat komunitas dari 13 tempat, baik mata air gunung, sungai besar, sumur tua, taman doa, dan belik di kawasan lima gunung setempat.

Setiap kendi yang tiba dari asal-usulnya di 13 tempat, saat tiba di Studio Mendut yang menjadi pusat aktivitas komunitas itu, diberi label berupa kalungan kain warna kuning keemasan.

Hari prosesi dijatuhkan komunitas bertepatan dengan angka tanggal 13 Agustus 2023. Mereka memulai ritual kontemporer yang kental warna seni itu pada pukul 19.37 WIB. Komunitas menyebut sebagai pukul “tujuh tiga tujuh”.

Pusat ritual di Monumen Lima Gunung di studio terbuka tersebut. Di bawah monumen tersebut juga diletakkan gentong dan siwur(gayung dari batok dengan tangkai bambu untuk mengambil air). Monumen dari batu setinggi sekitar tiga meter, karya pematung Ismanto, dibalut dengan kain warna merah koral. Puluhan titik sekitar monumen diberi sinar temaram dari lampu lilin berbalut batang pohon pisang ataugedebok dan hio.

Semua yang menjalani prosesi mengenakan pakaian adat Jawa, termasuk Sitras Anjilin, melengkapi busana Jawa, berupa beskap, belangkon, dan selempang kain, dengan menyelipkan keris di punggung.

Sitras Anjilin dari kawasan Gunung Merapi memimpin prosesi didampingi, antara lain,Sujono (Ketua Komunitas Lima Gunung), Pangadi, Supadi Haryanto, Handoko, Zaki Ramadan, Atika Sekar, Singgih Arif Kusandi, Iroel Mutaqin, Sarwo Edi Wibowo, Endah Pertiwi, Gianto, dan Lyra de Blauw dan Nabila Rivani (tokoh dan seniman). Hadir pula Kepala Desa Baleagung Nur Muhammad Solikhin.

Tembang-tembang Jawa dilantunkan Sih Agung dan Supadi Haryanto secara bergantian dengan iringan gender oleh seniman Yuli Prasetyo. Baik Sitras, Lyra, maupun Nabila menaburkan kembang mawar merah putih sepanjang prosesi. Prosesi berhenti sejenak untuk ritual mengelilingi kolam di dalam Museum Lima Gunung di Studio Mendut.

Malam dirasuki hawa cukup dingin seakan memperkuat suasana hening dan takzim semua yang hadir dalam ritual “Donga Tirto Kencono”, sedangkan puisi “Doa Air” diunjukkan penciptanya yang penyair Hudi D.W. terasa kian membenamkan hadirin dalam refleksi atas ritual itu.

“Dari bening air kasih sayang-Mu, basuhlah hati kami yang berdebu. Dari bening air kasih sayang-Mu, sucikanlah nalar, naluri, dan nurani kami…

Beningkanlah segala kesulitan. Heningkanlah segala marabahaya,” demikian penggalan puisi itu.

Para pembawa kendi meletakkan di atas 13 lepek di depan Monumen Lima Gunung, sedangkan selembar tikar digelar menjadi alas tumpeng, sarana pelengkap prosesi.

Rapal doa tak diwujudkan dalam ungkapan kata-kata pemimpin prosesi, namun diunggah secara khusyuk oleh Sitras Anjilin melalui performa gerakan-gerakan tarian beriringkan musik gender dan lantunan tembang-tembang Jawa. Penari Lyra dan Nabil memainkan performa gerak seni masing-masing seakan berinteraksi dengan performa gerak Sitras Anjilin.

Olah gerak tarian Sitras bagaikan menyibak malam, menyapa hawa dingin, melesakkan cahaya kesegaran ke batin, menghadirkan angin berkah, dan membuka kekayaan ingatan jalan kebudayaan lebih dari 20 tahun terakhir yang terpatri di dalam Monumen Lima Gunung.

Ia seakan juga menegas tentang tautan ritual “Donga Tirto Kencono (Doa Air Emas) dengan tema “Kalis ing Kahanan” festival komunitas tersebut tahun ini. “Kalis ingKahanan” dapat dimaknai kedap atau mampu bertahan dalam setiap keadaan.

Tema festival itu setidaknya melayangkan ajakan warga desa-desa di kawasan lima gunung di Magelang kepada khalayak negeri untuk bersama-sama melewati dengan baik, tenteram, damai, dan sejuk atas berbagai tantangan hidup masa mendatang, seperti menyangkut kesulitan perekonomian, risiko bencana, ketimpangan sosial, dampak negatif era teknologi informasi, situasi perkembangan geopolitik, perubahan iklim, dan terlebih tahun politik saat ini.

Awakku gemeter(tubuhku bergetar),” ucap Sih Agung yang bercerita peristiwa menghinggapi dirinya ketika menerima potongan tumpeng dari Sitras, setelah selesai prosesi ritual “Donga Tirto Kencono”.

Warganya bersama sejumlah pegiat komunitas kemudian menata 13 kendi, lalu dibawa ke Dusun Sudimoro, untuk sarana kirab budaya pada puncak FLG XXII pada Minggu (27/8). Hingga saat ini, warga masih melanjutkan pembuatan panggung raksasa dengan instalasi dari berbagai bahan alami dusun setempat.

Semangat warga menyiapkan diri sebagai tuan rumah festival menjadi kebanggaan tersendiri bagi Kades Solikin. Selama beberapa waktu terakhir, masyarakat mewujudkan penguatan semangat gotong royong. Oleh karena Festival Lima Gunung di dusun itu, warga semakin guyup.

Dalam berbagai kesempatan, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengemukakan tentang kekayaan kearifan lokal yang tetap hidup dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia.

Ketentuan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juga mencantumkan, antara lain, tentang kelokalan, partisipasi dan kebebasan berekspresi, serta semangat gotong royong untuk tetap dihidupi masyarakat.

Setidaknya prosesi ritual “Donga Tirto Kencono” digelar Komunitas Lima Gunung untuk mengantar kepada peristiwa tahunan festival mereka yang berkelindandengan amanat UU Pemajuan Kebudayaan.

Diungkapkan oleh budayawan Sutanto Mendut bahwa kebudayaan besar terkait kuat dengan keberadaan air dan sungai. Air menjadi sponsor kehidupan masyarakat untuk melahirkan kebudayaan dan membangun peradaban.

Berbagai ritus dalam tradisi budaya dan keagamaan di masyarakat tidak terlepas dari penggunaan media air. Ada juga kepercayaan bahwa air menjadi penghantar doa dan harapan.

Prosesi ritual “Donga Tirto Kencono” mereka malam itu, diharapkan menjadi pengantar festival tahunan Komunitas Lima Gunung kepada pemaknaan tentang betapa pentingnya masyarakat negeri ini “Kalis ing Kahanan”.