Warga Sipil – Buruknya kualitas udara di berbagai wilayah berdampak pada kesehatan masyarakatnya. Jika tidak segera diatasi, hal itu dapat mengancam kesehatan.
Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) menyebutkan bahwa kualitas udara yang buruk merupakan ‘pembunuh senyap’. Menurut data, setiap tahun paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini dan kehilangan waktu sehat hingga jutaan tahun.
Lalu, apakah masyarakat bisa menggugat Pemerintah karena kualitas udara yang buruk? Dirangkum Pikiran-Rakyat.com dari berbagai sumber, berikut penjelasannya.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal itu sebagai bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diamanatkan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pencemaran lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 14 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Pada dasarnya, setiap orang yang melakukan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan serta melakukan pemulihan lingkungan hidup.
Penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan:
Sedangkan pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahapan:
Gugatan pencemaran udara pernah diajukan oleh 32 warga Jakarta yang dikuasakan kepada Tim Advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta) pada Juli 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat menilai udara Jakarta yang tercemar menyebabkan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak terpenuhi.
Pada 2010 terjadi 5 juta kasus timbulnya penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara dan meningkat pada 2016 menjadi 6 juta kasus. Akibatnya, masyarakat DKI Jakarta menanggung beban biaya sebesar Rp38,5 triliun pada tahun 2010 dan Rp51,2 triliun pada 2016 untuk pengobatan penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara.
Tercemarnya udara Jakarta merupakan akibat dari kegiatan masyarakat yang mencakup penggunaan kendaraan bermotor, industri, pembangkit listrik, pembakaran sampah, dan lain-lain. Kegiatan pencemaran itu pun tidak hanya ada di Jakarta, tetapi di sekitar Jakarta.
Mereka menilai penyelesaian permasalahan udara lintas batas administrasi memerlukan tindakan berbagai pejabat pemerintah. Dalam hal ini Presiden dan tiga menterinya juga harus mengawasi, mengevaluasi dan memfasilitasi Pemprov DKI Jakarta, Banten, dan Pemprov Jawa Barat untuk memiliki kewajiban hukum untuk mengendalikan pencemaran udara.
Kemudian pada 16 September 2021, Hakim menyatakan para tergugat dalam perkara tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara. Adapun para tergugat dalam perkara ini adalah Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, tercantum turut tergugat yakni Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.
“Menyatakan tergugat 1, tergugat 2, tergugat 3, tergugat 4, dan tergugat 5 telah melakukan perbuatan melawan hukum,” kata hakim Saifuddin.
Para tergugat dinyatakan melanggar Pasal UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Presiden Jokowi sebagai Tergugat 1 disebut untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar sebagai Tergugat 2 disebut untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI (Anies Baswedan), Gubernur Banten (Wahidin Halim) , dan Gubernur Jawa Barat (Ridwan Kamil), dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Menteri Dalam Negeri sebagai Tergugat 3 disebut untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja tergugat 5 (Gubernur DKI) dalam pengendalian pencemaran udara.
Menteri Kesehatan sebagai Tergugat 4 disebut untuk melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKIyang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan tergugat 5 (Gubernur DKI) dalam penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.***