Warga Sipil – Kualitas udara di Jakarta belakangan ini tampaknya semakin buruk. Bahkan, menduduki posisi pertama sebagai kota dengan udara terburuk di dunia pada Minggu 13 Agustus 2023 pagi dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) 170.
Meski sedikit mengalami penurunan, hari ini pun kualitas udara Jakarta masih buruk. Ibu Kota Indonesia itu menempati peringkat ketiga di bawah Kuwait dan Dubai.
Berdasarkan pantauan Pikiran-Rakyat.com dari situs IQAir pada Senin 14 Agustus 2023 pukul 7.14 WIB, AQI Jakarta berada pada angka 151 dan masuk kategori tidak sehat. Polusi udara PM2.5 di Jakarta saat ini pun 11,1 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.
ADVERTISEMENT
Partikulat (PM2.5) adalah Partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Nilai Ambang Batas (NAB) adalah Batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien. NAB PM2.5 = 65 µgram/m3.
Sementara itu, stasiun kualitas udara paling berpolusi dipegang oleh Kemayoran dengan AQI 183. Kemudian diikuti oleh Layar Permai PIK dengan AQI 168.
Selanjutnya ada Taman Resort Mediterania dengan AQI 167, Jimbaran 2 dengan AQI 165, Gran Melia Jakarta dengan AQI 161, serta Gordi HQ dengan AQI 158. Lalu ada Kemang V dengan AQI 158, Wisma Matahari Power dengan AQI 157, Pantai Mutiara dengan AQI 155, dan Wisma Barito Pacific dengan AQI 154.
Menurut data WHO, setiap tahun paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan 7 juta kematian dini dan kehilangan waktu sehat hingga jutaan tahun. Polusi udara juga mengganggu pertumbuhan anak-anak, merusak fungsi paru-paru, menginfeksi pernapasan, dan memperburuk penyakit asma mereka.
Pada orang dewasa, penyakit jantung iskemik dan stroke menjadi penyebab kematian dini terbanyak yang disebabkan oleh polusi udara di luar ruangan. Penelitian juga membuktikan polusi udara menimbulkan efek lain seperti diabetes dan kondisi neurodegeneratif. Hal tersebut menempatkan polusi udara setara dengan risiko kesehatan global utama lainnya seperti pola makan yang tidak sehat dan merokok.
Polusi udara adalah salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia, di samping perubahan iklim. Peningkatan kualitas udara dapat meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim, sementara pengurangan emisi pada gilirannya akan meningkatkan kualitas udara . Dengan berjuang mencapai standar baru ini, menurut WHO, pemerintah akan bisa melindungi kesehatan sekaligus mengurangi dampak krisis iklim global.
Pedoman Kualitas Udara Global (Global Air Quality Guidelines) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan standar kualitas udara baru untuk melindungi kesehatan masyarakat, dengan memangkas standar polutan udara utama dunia, yang beberapa di antaranya juga berkontribusi terhadap krisis iklim. WHO terakhir memperbaharui standar kualitas udara 16 tahun yang lalu pada 2005.
Pedoman baru WHO merekomendasikan tingkat kualitas udara untuk 6 polutan utama, yang terbukti paling berdampak buruk bagi kesehatan. Keenam polutan tersebut adalah partikulat (PM), ozon (O₃), nitrogen dioksida (NO₂) sulfur dioksida (SO₂) dan karbon monoksida (CO).
Partikel partikulat yang berdiameter sama atau lebih kecil dari 10 dan 2,5 mikron (µm) (masing-masing PM₁₀ dan PM₂.₅) mampu menembus jauh ke dalam paru-paru dan dapat memasuki aliran darah. Dampaknya, polutan tersebut memicu penyakit kardiovaskular dan pernapasan, dan juga mempengaruhi organ lain.
Polusi partikulat dihasilkan terutama oleh pembakaran bahan bakar fosil di berbagai sektor, termasuk transportasi, energi, rumah tangga, industri, dan pertanian. Kemudian pada tahun 2013, polusi udara luar ruangan dan partikulat diklasifikasikan sebagai karsinogenik (menyebabkan kanker) oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) WHO.
Hampir 80 persen kematian yang terkait dengan PM₂.₅ dapat dihindari jika dunia mampu mengurangi tingkat polusi udara saat ini menjadi seperti pedoman WHO yang diperbarui.
WHO menetapkan batas polusi PM2.5 rata-rata 24 jam dari 25 mikrogram/m3 pada 2005 menjadi 15 mikrogram/m3 tahun ini. Sementara batas polusi PM10 jangka pendek (rata-rata 24 jam) ditetapkan dari 50 mikrogram/m3 pada 2005 menjadi 45 mikrogram/m3 tahun ini. Standar polusi untuk ozon (O3), tidak berubah dengan nilai tidak lebih tinggi dari 100 mikrogram/m3 untuk rata-rata 8 jam.
Untuk polutan nitrogen dioksida (NO₂) sulfur dioksida (SO₂) dan karbon monoksida (CO), WHO berturut-turut menetapkan standar jangka pendek sebesar 25 mikrogram/m3, 40 mikrogram/m3 dan 4 miligram/m3.***