wargasipil.com – Jakarta, CNBC Indonesia – Mata uang rupiah sepanjang pekan ini terpantau merana karena kalah melawan dolar Amerika Serikat (AS) dan kini nyaris kembali menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah ambles 1,19% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS.
Pada perdagangan Jumat (19/5/2023), rupiah ditutup melemah 0,4% ke Rp 14.920/US$. Rupiah hampir mendekati kembali level psikologis Rp 15.000/US$.
Secara harian sepanjang pekan ini, IHSG tidak sekalipun mencetak penguatan dan konsisten mengalami koreksi. Dolar AS yang kembali perkasa menjadi penyebab rupiah lesu pada pekan ini.
Hal ini terlihat dari indeks dolar, indeks yang mengukur seberapa kuat The Greenback terhadap enam mata uang asing.
Sepanjang pekan ini, indeks dolar AS menguat 0,5%. Pada perdagangan Jumat kemarin, indeks dolar AS berada di posisi 103,198.
Dolar menguat setelah pasar berbalik arah dalam memproyeksi kebijakan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, saat itu, pasar melihat ada probabilitas sebesar 36,7% suku bunga akan dinaikkan 25 basis poin menjadi 5,25% – 5,5% pada bulan depan.
Namun, data terbaru dari FedWatch menunjukkan bahwa ada probabilitas sebesar 82,6% suku bunga akan ditahan di level terkini, sedangkan 17,4% dinaikan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% – 5,5% pada bulan depan.
Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan suku bunga mungkin tidak perlu naik sebanyak sebelumnya karena kondisi kredit yang lebih ketat setelah gejolak sektor perbankan.
Namun, Powell mengatakan masih belum jelas apakah suku bunga perlu dinaikkan lebih lanjut, karena pejabat The Fed masih menyeimbangkan ketidakpastian tentang dampak kenaikan biaya pinjaman di masa lalu.
Sebelum pernyataan Powell tersebut, banyak pejabat The Fed yang masih mempertahankan sikap hawkish-nya. Presiden The Fed Richmond, Thomas Barkin, mengatakan dirinya merasa “nyaman” jika The Fed harus menaikkan suku bunga lagi pada Juni mendatang untuk menekan inflasi.
Pernyataan ini memperpanjang pernyataan Chief Cleveland, Loretta Mester mengatakan The Fed belum pada titik di mana mereka merasa perlu untuk menahan suku bunga.
Senada, Presiden Fed Dallas Lorie Logan juga mengatakan inflasi saat ini tidak turun cukup tajam untuk mendukung pivot kebijakan.
Gubernur Fed Philip Jefferson mengatakan terlalu dini untuk melakukan pivot kebijakan hanya berdasarkan data saat ini.
Namun yang pasti, sikap The Fed saat ini masih cenderung beragam dalam menyikapi kebijakan suku bunga acuan, karena faktor pendukungnya pun masih cenderung beragam.
Data tenaga kerja yang masih cukup kuat, tetapi dari data ekonomi lainnya mulai ada tanda-tanda mengalami kelesuan. Selain itu, pasar menduga bahwa tingkat kredit di AS sekarang sudah cukup ketat.
Terlepas dari sentimen pasar di AS yang masih belum pasti, Nilai tukar rupiah diproyeksi masih melemah ke depan oleh beberapa pengamat.
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 (KEM PPKF RAPBN 2024), pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah dalam KEM PPKF RAPBN 2024 sebesar Rp 14.700/US$ hingga Rp 15.300/US$.
Asumsi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan target di dalam Undang-Undang APBN 2023 yang mencapai Rp 14.800/US$.
“Prospek pasar keuangan domestik, termasuk pergerakan nilai tukar rupiah dan yield surat berharga pemerintah akan sangat dipengaruhi dinamika pasar global, termasuk meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memaprakan KEM PPKF RAPBN 2024, Jumat (19/5/2023).
CNBC INDONESIA RESEARCH