RUU KUHP Sudah Final, Disahkan Akhir Tahun Ini

RUU KUHP Sudah Final, Disahkan Akhir Tahun Ini

Pemerintah Sosialisasi dan Gelar Dialog Publik Pasal-Pasal Krusial

WargaSipil.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bakal disahkan akhir tahun ini. Saat ini terus dilakukan finalisasi dengan menggelar sosialisasi dan dialog publik di berbagai kota.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan, pembahasan RUU KUHP memasuki tahap final.

”Rencananya mau disahkan pada hari kemerdekaan tahun ini. Namun, presiden mengarahkan untuk menyosialisasikan dan mendialogkan dengan masyarakat luas karena menyangkut orang banyak,” kata Mahfud saat sosialisasi dan dialog publik RUU KUHP di Surabaya kemarin (21/9).

Menurut dia, RUU KUHP telah didiskusikan selama 59 tahun. KUHP yang ada selama ini merupakan peninggalan pemerintahan Belanda dan telah berlaku 104 tahun. Nah, sosialisasi dilakukan karena adanya sejumlah pasal krusial. ”Sudah hampir final. Tapi, dibersihkan dulu sejumlah hal yang bersifat teknis. Tidak lagi bersifat ideologi. Insya Allah akhir tahun ini sudah bisa disahkan menjadi UU oleh DPR bersama pemerintah,” terang mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Dialog publik RUU KUHP di Surabaya melibatkan lembaga pendidikan, pondok pesantren, ormas keagamaan, dan masyarakat. Mahfud mengatakan, Kementerian Agama turut dilibatkan. Sebab, sepanjang proses pembahasan RUU KUHP, muncul pro-kontra dari kalangan agama. Misalnya, terkait pasal perzinaan, hukuman mati, hingga hak asasi manusia.

Menurut Mahfud, isi RUU KUHP mengakomodasi berbagai kepentingan, aliran, paham, hingga situasi budaya sehingga menjadi satu visi bersama tentang Indonesia.

Anggota tim sosialisasi RUU KUHP I Gede Widhiana Suarda mengungkapkan, dikaji secara sosiologis, urgensi RUU KUHP harus mencerminkan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sebab, meski sebagian KUHP saat ini masih bisa diadopsi, nilainya berasal dari Belanda. ”Urgensi lainnya, KUHP saat ini tidak ada terjemahan resmi dari pemerintah. Yang ada hanya terjemahan bebas yang selama ini digunakan sebagai penegakan hukum. Kan itu mengerikan,” tuturnya.

Gede lantas membahas beberapa pasal di antara 14 pasal krusial yang solusinya mengambil jalan tengah. Misalnya, terkait pidana mati bersyarat. Terpidana boleh divonis hukuman mati, tetapi ada masa percobaan selama 10 tahun untuk menjalani hukuman penjara. Jika terpidana menunjukkan perubahan positif, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan mengacu pada proses yudisial. ”Kalau kita lihat, sebagian besar negara sudah menghapus pidana mati,” ungkapnya.

Gede juga menyosialisasikan pasal terkait penghinaan presiden dan wakil presiden. Jalan tengah yang diambil, pasal itu adalah delik aduan dan hanya bisa dituntut jika presiden dan wakil presiden yang melaporkan. Dengan demikian, kritik tidak akan dihukum atau dipidana selama tidak ada pengaduan.

Ada dua poin yang dikategorikan sebagai penghinaan, yaitu fitnah dan penistaan. Misalnya, penyampaian dengan cara yang kurang baik seperti menggunakan umpatan. ”Penghinaan dan kritik sangat mudah dibedakan. Kalau lebih kompleks, bisa menghadirkan saksi ahli ketika di pengadilan,” katanya.

Selain itu, Gede menerangkan pasal mengenai perdukunan, penistaan agama, perzinaan, serta living law.

Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember itu, penolakan terhadap penyusunan RUU baru merupakan sesuatu yang wajar. Jika masih ada pihak yang tidak setuju, bisa mengajukan judicial review setelah pengesahan.

—————————————————-
”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website www.jawapos.com. Situs Wargasipil.com adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs Wargasipil.com tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”