WargaSipil.com – Banyak yang berpikir bahwa teknologi pengenalan wajah atau face recognition adalah metode identifikasi biometrik yang paling aman dan terbaik saat ini. Namun, di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, anggapan tersebut bisa terbantahkan.
Dengan teknologi face recognition, jika digunakan saat pakai masker, fitur ini tidak akan berfungsi dengan baik. Malahan, pada banyak perangkat, teknologi tersebut tidak akan berfungsi sama sekali. Andai pun bisa digunakan saat memakai masker, hal ini berarti aspek keamanan pada teknologi tersebut menurun.
Itu sebabnya para ilmuwan masih mencari solusi identifikasi yang lebih baik lainnya. Dalam beberapa dekade terakhir, metode identifikasi juga hadir pada smartphone. Mereka termasuk kata sandi, pengenalan sidik jari, pengenalan wajah, pola gambar, dan lainnya.
Masih dianggap belum ideal baik dari segi keamanan dan kepraktisan, para ilmuwan terus mengembangkan teknologi identifikasi lainnya. Termasuk yang sedang dikembangkan adalah teknologi identifikasi berbasis pernapasan.
Baru-baru ini, para peneliti di Universitas Kyushu dan Universitas Tokyo di Jepang tengah mengembangkan metode baru untuk membuka kunci ponsel cerdas. Pengguna hanya perlu bernapas.
Untuk memahami cara kerja metode ini, kita harus berkenalan dengan beberapa istilah. Misalnya, ada yang disebut “hidung elektronik”. Yang terakhir menggunakan sistem sensor penciuman. Sehingga dapat menganalisis berbagai bau di udara dan secara akurat mengidentifikasi komponen bau tersebut. Dalam industri makanan, hidung elektronik dapat digunakan untuk mendeteksi makanan mana yang digunakan dan apakah rasanya enak atau tidak.
Metode identifikasi baru menggunakan hidung elektronik. Tapi bagaimana smartphone bisa memahami bahwa napas tersebut adalah milik seseorang? Ternyata komposisi napas yang kita embuskan sangat kompleks. Misalnya, ketika kita makan, napas kita berubah. Meski begitu, masing-masing dari kita memiliki chemistry yang unik dalam napas. Menurut para ahli, udara yang kita embuskan dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa penyakit, seperti diabetes.
Sementara studi yang sedang dibicarakan menemukan bahwa setidaknya ada 28 senyawa dalam satu napas. Para ilmuwan menggunakan sensor bau 16 saluran.
Setiap saluran dapat mengidentifikasi beberapa bau. Selain itu, mereka menggunakan pembelajaran mesin atau Machine Learning untuk menganalisis komposisi kimia dari napas setiap orang.
Anehnya, tingkat akurasinya mencapai 97,8 persen. Sementara, tingkat akurasi pengenalan wajah adalah 99,97 persen, sedangkan pemindai sidik jari bekerja pada akurasi 98,6 persen.
Sayangnya, meski terdengar sangat canggih, skala penelitian ini masih terlalu kecil. Dengan demikian, hasilnya tidak dapat dianggap wajar. Secara sederhana, teknologi ini belum matang.
—————————————————-
”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website www.jawapos.com. Situs Wargasipil.com adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs Wargasipil.com tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”