Semakin Banyak Warga Taiwan Tidak Merasa sebagai “Orang China”

Semakin Banyak Warga Taiwan Tidak Merasa sebagai “Orang China”

wargasipil.com – Setiap tanggal 10 Oktober Taiwan memperingati “Double Ten”, hari nasional pulau otonom tersebut.

Hari raya itu terasa sangat signifikan pada tahun ini, saat ketegangan dengan Beijing, yang mengeklaim Taiwan sebagai wilayahnya, sedang pada level tertinggi; dan pemimpin China Xi Jinping, yang sangat vokal tentang “re-unifikasi”, dipastikan akan mendapatkan periode jabatan ketiga pada pertemuan bersejarah Partai Komunis pekan depan.

Ironisnya, 10 Oktober tidak ada hubungannya dengan Taiwan atau momen apa pun dalam sejarahnya.

Bahkan, ini menandai hari pada tahun 1911, ketika pemberontakan dimulai di Wuchang, China tengah yang akhirnya menyebabkan runtuhnya dinasti kekaisaran terakhir–dan pembentukan Republik China.

Jadi mengapa Taiwan merayakan hari itu? Karena nama resmi pulau itu masih Republik China di Taiwan. Bendera yang berkibar di Taipei saat ini masih bergambar bintang putih dengan latar belakang biru dan merah.

Ini adalah warisan unik dari perang saudara China. Pada tahun 1949 rezim nasionalis Chiang Kai-shek yang kalah melarikan diri melintasi selat Taiwan ke Taipei.

Selama beberapa dekade Chiang memimpin Taiwan dengan tangan besi, sambil terus menyatakan rezimnya sebagai “pemerintah demokratis sejati China Merdeka”.

Hari ini, semua itu tampaknya agak absurd–dan memang demikian bagi banyak orang Taiwan, terutama generasi muda.

Hanny Hsian, seorang pramugari berusia 38 tahun yang tinggal di Taipei bersama suaminya, seorang warga Amerika, serta dua anaknya, melambangkan perubahan itu.

“Kakek-nenek saya berasal dari China dan mereka masih patriot China,” kata Hanny. “Tapi bagi saya, saya lahir dan besar di Taiwan, saya tidak ragu bahwa saya orang Taiwan. China bukanlah Tanah Air kami.

“China tidak pernah memiliki Taiwan. Beberapa orang melarikan diri dari China ke Taiwan. Tapi itu tidak berarti mereka memiliki pulau ini.”

Hanny tidak sendiri. Beberapa jajak pendapat tahun ini menunjukkan bahwa 70 persen hingga 80 persen orang di sini sekarang menganggap diri mereka sebagai “orang Taiwan”.

Itu peningkatan yang signifikan dari satu dekade yang lalu, ketika sekitar setengah populasi masih mengatakan mereka adalah “orang China”.

Tren ini tidak luput dari perhatian di Beijing. Dan Beijing pun membalas.

Sejak Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan pada bulan Agustus lalu, ada banyak pembicaraan tentang berapa lama sampai China menginvasi Taiwan. Yang kurang dibicarakan ialah tekanan ekonomi yang sudah dilakukan Beijing.

China adalah pasar besar bagi Taiwan, terutama untuk industri makanannya.

Berkendaralah di sepanjang pantai barat daya, tepat di selatan Tainan, dan sulit untuk mengetahui di mana daratan berakhir dan laut dimulai.

Area lahan pertanian yang luas telah diubah menjadi kolam air asin yang sangat besar. Itu tidak tampak cantik, tetapi di bawah permukaan kolam-kolam yang berlumpur, tersimpan harta karun.

Su Guo-zhen sedang mengosongkan ember berisi sarden ke salah satu kolamnya.

Airnya berbusa saat puluhan ikan besar berdesak-desakan untuk mendapatkan makanan. Ini adalah ikan Kerapu–ada ratusan jumlahnya di kolam Su.

“Sebaiknya jangan masukkan kakimu ke dalam air!” katanya sambil tertawa. “Mereka sangat teritorial dan sangat agresif”.

Mereka juga sangat mahal. Di atas meja makan di Shanghai dan Beijing, ikan Kerapu dewasa dapat dihargai 2.000 dollar AS (Rp 30 juta).

Sampai musim panas ini, sekitar 80 persen dari Kerapu yang dibudidaya di Taiwan diekspor ke China. Sekarang angkanya turun ke nol persen.

“China adalah pasar terbaik untuk ikan-ikan ini” kata Su. “Mereka menyantapnya di jamuan makan dan perayaan. Ini sangat populer.”

Tetapi sejak China melarang impor pada bulan Juni, imbuhnya, pelanggan di China daratan berhenti memesan Kerapu dari Taiwan, yang membuat para pembudidaya khawatir harganya akan jatuh.

Namun, Su mengatakan telah terjadi perubahan sikap: “Peternak ikan yang lebih tua seperti saya gugup. Tetapi peternak muda tidak khawatir. Mereka berpikir, baiklah kalau China tidak membeli, kami akan menjual ke pasar lain di seluruh dunia yang punya populasi orang China.”

Putri dan menantu Su sekarang melakukan itu, memasarkan Kerapunya di Singapura, San Francisco, dan Vancouver. Sementara petani nanas Taiwan mengirimkan hasil panen mereka tahun ini ke Jepang.

Ini transisi yang sulit. Seperti ketergantungan Eropa pada gas Rusia, ketergantungan Taiwan yang berlebihan pada pasar China yang besar telah membuatnya rentan.

Tetapi kalau Beijing berpikir tekanan ekonomi terhadap Taiwan akan berhasil, itu tampaknya telah menjadi bumerang.

Sekitar setengah dari populasi Taiwan sekarang mendukung kemerdekaan formal, bahkan di bawah ancaman serangan dari China.

Sebuah jajak pendapat tahun lalu menunjukkan 75 persen orang Taiwan mengatakan, mereka akan melawan invasi China.

Rasa identitas yang tumbuh ini disertai dengan rasa bangga pada kisah Taiwan sendiri – tentang demokrasinya yang diperoleh dengan susah payah serta transformasinya menjadi salah satu masyarakat paling terbuka di Asia.

Bagi mereka, ancaman dari China bukan hanya ancaman bagi kepemimpinan politik Taiwan. Ini adalah ancaman bagi semua hak dan kebebasan yang dinikmati rakyatnya.

Taiwan adalah satu-satunya tempat di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis.

“Menjadi gay dulunya adalah sesuatu yang Anda sembunyikan,” kata Mota Lin.

“Tapi sekarang kami terbuka. Dan sikap masyarakat sudah berubah sekarang karena pemerintah telah menerima dan mengakui kami.”

Ia tinggal di Taipei selatan bersama pasangannya City Chen serta putri mereka yang berusia dua tahun, Lin-chen.

Dinding apartemen mereka penuh dengan foto keluarga. Lantainya ramai dengan tumpukan mainan. Sukacita kedua perempuan muda ini untuk menjadi orang tua menular. City sedang hamil dengan bayi kedua mereka.

Ia lebih muda dari pasangannya, dan lebih bersemangat tentang identitas Taiwan-nya. Amarah melintas di matanya ketika ditanya tentang ancaman terhadap Taiwan dari China.

“Kami adalah negara yang merdeka dan berdaulat” katanya. “Kalau China ingin merebut Taiwan, mereka harus memulai perang, seperti Rusia di Ukraina. Kalau perang datang, prioritas kami adalah keselamatan keluarga. Jadi, kami mungkin harus pergi.”

Ini kemungkinan yang mengerikan. Tetapi bagi Mota Lin, City Chen, Su Guo-zhen, Hanny Hsian, dan 23 juta orang Taiwan lainnya, taruhannya sangat besar.

Selama tiga dekade terakhir, mereka telah menciptakan sesuatu yang luar biasa di sini.

Itu adalah sesuatu yang bisa mereka rayakan dengan bangga hari ini. Dan itu adalah sesuatu yang tidak akan mereka lepaskan, apa pun ancaman dari Beijing.

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website kompas.com. Situs https://wargasipil.com adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://wargasipil.com tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”