wargasipil.com – Militer Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces ( RSF ) terlibat dalam bentrokan untuk berebut kekuasaan atas negara.
Kedua belah pihak mulai saling jual beli serangan pada Sabtu (15/4/2023), dari ibu kota negara, Khartoum, dan sejumlah wilayah di Sudan.
Akibat bentrokan antara militer Sudan dan RSF, sedikitnya 56 warga sipil tewas menurut laporan Persatuan Dokter Sudan, sebagaimana dilansir , Minggu (16/4/2023).
Bentrokan antara militer Sudan dan RSF pecah setelah kedua belah pihak seritegang selama berbulan-bulan lamanya.
RSF mengeklaim bahwa pihaknya telah menguasai Istana Kepresidenan Sudan dan Bandara Internasional Khartoum. Kepala militer Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan membantah klaim tersebut.
Mengapa RSF melakukan kudeta dan kenapa kelompok paramiliter ini begitu kuat hingga mampu melawan militer reguler Sudan? Berikut prodil RSF.
Terbentuknya RSF
RSF merupakan evolusi dari kelompok milisi Janjaweed yang bertempur dalam konflik pada 2000-an di Darfur, Sudan.
Anggota kelompok milisi Janjaweed dipakai oleh Presiden Sudan saat itu, Omar al-Bashir, untuk membantu militer meredam pemberontakan.
Akibat konflik di Darfur, diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi dan 300.000 tewas.
Jaksa Pengadilan Pidana Internasional menuduh pejabat pemerintah kala itu dan komandan milisi Janjaweed melakukan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur.
Seiring waktu, kekuatan kelompok milisi Janjaweed semakin tumbuh. Pada 2013, kelompok milisi ini secara resmi berevolusi dan dinamakan RSF.
RSF semakin serbaguna. Anggotanya bahkan dipakai sebagai penjaga perbatasan.
Pada 2015, RSF bersama dengan militer Sudan mulai mengirim pasukan untuk berperang di Yaman bersama pasukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Pada tahun yang sama, kelompok tersebut diberi status “pasukan reguler”. Pada 2017, undang-undang yang melegitimasi RSF sebagai pasukan keamanan independen disahkan.
Selain wilayah Darfur, RSF dikerahkan ke beberapa negara bagian lain seperti South Kordofan dan Blue Nile. Di sana, kelompok tersebut dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Beberapa analisis memperkirakan bahwa RSF memiliki personel sekitar 100.000 kombatan.
Komandan RSF
RSF dikomandoi oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo. Dia dikenal dengan julukan “Hemedti” atau “Mohamad Kecil”. Hemedti saat ini memegang posisi wakil kepala Dewan Kedaulatan yang berkuasa di Sudan.
Dagalo lahir dari keluarga miskin yang menetap di Darfur pada 1980-an. Dia putus sekolah di kelas tiga dan mencari nafkah dengan berdagang unta sebelum menjadi pemimpin Janjaweed ketika konflik Darfur pecah.
Ketika RSF menjadi lebih menonjol dan perannya dalam urusan keamanan negara semakin tumbuh, bisnis Hemedti ikut terkerek berkat bantuan al-Bashir.
Keluarga Hemedti sampai bisa memperluas kepemilikannya di sejumlah sektor seperti pertambangan emas, peternakan, dan infrastruktur.
RSF makin berulah
Pada April 2019, RSF ikut serta dalam kudeta militer yang menggulingkan al-Bashir setelah berbulan-bulan demonstrasi menentang pemerintahannya yang bercokol selama 30 tahun.
Empat bulan kemudian, militer dan gerakan prodemokrasi mencapai kesepakatan pembagian kekuasaan. Kesepakatan ini membentuk dewan gabungan militer-sipil yang akan memerintah Sudan selama tiga tahun ke depan sampai pemilu diadakan.
Hemedti diangkat sebagai Wakil Ketua Dewan Kedaulatan yang dipimpin oleh al-Burhan.
Ekonom terkemuka Abdalla Hamdok dilantik sebagai Perdana Menteri Sudan dan pemimpin kabinet transisi. Sebelum menandatangani kesepakatan, para aktivis menuduh RSF ikut serta membunuh puluhan pengunjuk rasa prodemokrasi.
Pada Oktober 2021, RSF terlibat dalam kudeta lain militer hingga menghentikan transisi ke pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
Langkah tersebut memicu demonstrasi massa prodemokrasi terbaru di seluruh Sudan yang berlanjut hingga hari ini.
Sumber ketegangan RSF dengan militer
Militer Sudan dan kelompok pro-demokrasi menuntut RSF diintergasikan ke dalam angkatan bersenjata reguler.
Adel Abdel Ghafar, seorang peneliti di Middle East Council, mengatakan bahwa RSF menolak untuk diintegrasikan ke dalam miiliter.
RSF sadar bahwa jika pasukannya dilebur ke dalam militer, mereka akan kehilangan kekuatannya.
Negosiasi mengenai integrasi inilah yang menjadi sumber ketegangan hingga menunda penandatanganan akhir perjanjian transisi, yang semula dijadwalkan pada 1 April.
Hemedti dan al-Burhan disebut terus berselisih tentang siapa yang akan menjadi panglima militer selama periode integrasi.
RSF berpendapat komandannya juga harus menjadi kepala negara, situasi yang ditolak militer Sudan.