Penduduk Asli Kanada Optimis Menjelang Permohonan Maaf Paus Atas Kasus Pelecehan di Sekolah

Penduduk Asli Kanada Optimis Menjelang Permohonan Maaf Paus Atas Kasus Pelecehan di Sekolah

Penduduk Asli Kanada Optimis Menjelang Permohonan Maaf Paus Atas Kasus Pelecehan di Sekolah

Selama beberapa dekade, trauma melekat di komunitas kecil Penduduk Asli Kanada di wilayah Maskwacis. Beberapa di antaranya berharap untuk akhirnya bisa mendapatkan ketenangan saat Paus Fransiskus melakukan kunjungan untuk meminta maaf atas peran gereja dalam kasus pelecehan yang menimpa mereka di mana kasus tersebut berlangsung selama satu abad.

Paus akan melawat komunitas berpenduduk 19.000 orang di utara kota Edmonton, Alberta, itu pada 25 Juli mendatang, untuk mengunjungi lokasi salah satu sekolah asrama negara bagian yang dikelola sejumlah gereja, di mana anak-anak suku asli Kanada pernah diasingkan secara paksa.

Banyak di antara anak-anak yang selamat masih tinggal di kota-kota seperti Maskwacis.

“Mungkin mereka akan mendengar sesuatu yang dapat membantu mereka melanjutkan hidup,” kata kepala Ermineskin Cree Nation Randy Ermineskin kepada AFP.

Pegiat hak-hak penduduk asli Wilton “Willie” Littlechild adalah salah satu delegasi yang mengunjungi Vatikan pada April lalu untuk mendesak pemimpin agama berusia 85 tahun itu untuk datang ke Kanada dalam perjalanan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan.

“Permohonan maaf dari Yang Mulia (Paus) akan berdampak besar,” ungkapnya.

“Begitu Anda mengajukan permohonan maaf dan mendapat pengampunan, maka orang-orang akan mulai merasakan suatu penyembuhan, dan mereka akan menemukan lembar penutup,” kata pengacara sekaligus mantan kepala suku berusia 78 tahun yang menghabiskan 14 tahun masa kecilnya di sekolah asrama itu.

Di Maskwacis, yang terletak di tepi barat wilayah Prairies yang luas, sebuah plakat sederhana yang sebagiannya tertutup rerumputan dan dandelion yang ditumbuhi rumput menunjukkan lokasi bekas Sekolah Asrama Ermineskin Indian, di mana Paus akan berkunjung.

Sebelum ditutup tahun 1976, sekolah itu merupakan salah satu yang terbesar di antara 139 sekolah negeri yang dikelola gereja di seantero Kanada, di mana sekitar 150.000 anak-anak suku asli, Inuit dan Metis, dipaksa mendaftar sebagai bagian dari kebijakan asimilasi yang gagal.

Para pelajar dipisahkan dari keluarga, bahasa dan budaya mereka. banyak di antaranya mengalami pelecehan seksual dan penganiayaan yang dilakukan oleh para guru dan kepala sekolah mereka, dan ribuan di antaranya diyakini meninggal dunia akibat sakit, penelantaran dan malnutrisi.

Kanada telah bergulat dengan masa lalu yang brutal itu selama bertahun-tahun. Namun penemuan sisa-sisa jasad ratusan anak suku asli yang dikubur di makam tak bernisan di halaman sekolah beberapa bulan terakhir semakin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang betapa negara dan gereja membuat anak-anak itu menderita. [rd/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *