Pelaku Kekerasan Seksual Kampus Unri Bebas, Reaksi Nadiem Ditunggu

Putusan yang dikeluarkan pekan lalu itu merupakan puncak upaya hukum yang dilakukan penyintas, seorang mahasiswi Fisip Universitas Riau, bersama aktivis dan pembela hukumnya.

Andi Wijaya, Direktur LBH Pekanbaru yang mendampingi penyintas menyebut, perjalanan kasus ini sejak awal memang cukup aneh. Pengadilan Negeri Pekanbaru membebaskan terdakwa karena ketiadaan saksi. Sementara pertimbangan hukum, termasuk pendapat para ahli yang dihadirkan untuk mendukung penyintas, justru diabaikan.

“Harapan kita, korban tetap kuat, dan kementerian harus segera cepat memberikan sanksi berkaitan dengan akademisnya. Ini yang kita tunggu-tunggu, sejauh mana kementerian menjalankan Permendikbud 30. Apakah dia memiliki itikad baik atau perspektif keadilan terhadap korban, atau tidak,” kata Andi, dalam diskusi terkait kasus ini yang diselenggarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Selasa (16/8).

Pelaku Kekerasan Seksual Kampus Unri Bebas, Reaksi Nadiem Ditunggu

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menunjukkan spanduk dalam unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

Kasus kekerasan seksual mahasiswa Universitas Riau, dengan terduga pelaku dekan Fisip, terungkap karena korban berani berbicara. Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional angkatan 2018 itu menceritakan apa yang dialami dalam sebuah video. Civitas akademika kampus setempat pun bergerak, dan melahirkan dukungan terutama dari kalangan mahasiswa. Terduga pelaku, merupakan dosen pembimbing yang melakukan tindakan tercela itu ketika korban menjalani bimbingan proposal skripsi pada Rabu 27 Oktober 2021, sekitar pukul 12.30 WIB.

Melihat proses hukum yang tidak adil bagi penyintas, harapan kini tertuju pada Naidem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Nadiem telah mengeluarkan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Jika hukum tidak bisa menyentuh pelaku, setidaknya kementerian berwenang menjatuhkan sanksi.

Lebih memprihatinkan lagi, Andi juga menyayangkan karena para hakim di MA tidak menjadikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai bacaan. Kasus ini memang terjadi sebelum UU TPKS diundangkan, tetapi setidaknya semangat progresif UU tersebut dapat diterapkan dalam putusan.

“Harusnya hakim agung melihat secara jernih dan mempelajari UU TPKS, dan ini harus menjadi bahan bacaan, bagaimana UU TPKS progresif dan bisa mengakomodir,” kata Andi.

Ujian Nyata Kementerian

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, juga melihat korelasi kuat kasus ini dengan penerapan Permendikbud Ristek 30/2021.

Para aktivis antikekerasan seksual menggelar protes menentang aksi kekerasan seksual di lingkungan kampus di Indonesia dalam aksi di Jakarta, pada 10 Februari 2020. (Foto: AFP/Adek Berry)

Para aktivis antikekerasan seksual menggelar protes menentang aksi kekerasan seksual di lingkungan kampus di Indonesia dalam aksi di Jakarta, pada 10 Februari 2020. (Foto: AFP/Adek Berry)

“Ini aneh sekali, bahwa ini satu kejahatan yang sudah spesifik, terjadi di dalam ruang yang spesifik, tetapi tidak menggunakan Permendikbud Ristek 30. Jadi, sebetulnya kalau mau dibilang itu, secara putusan, ini misconduct,” kata Lidwina.

Lidwina juga mengkritisi, karena sejak awal proses persidangan di PN Pekanbaru, majelis hakim tidak merujuk pada Peraturan MA 3/2017, tentang penanganan kasus kekerasan seksual. MA sebenarnya telah memberikan panduan bagi para hakim untuk bersikap dalam kasus-kasus semacam itu.

“Faktanya hakim ini mulai dari Pengadilan Negeri sampai ke MA, ternyata tidak merujuk kepada PerMA. Sama sekali tidak ada aspek PerMA, dan ini berarti pelanggaran secara etika,” lanjutnya.

Sementara pengajar Universitas Pendidikan Indonesia, Hani Yulindrasari menyebut kasus ini sebagai ujian nyata untuk UU TPKS dan Permendikbud Ristek 30/2021.

“Dan ujian terhadap Kemdikbud Ristek juga, atas konsistensi keberpihakannya kepada korban. Kita lihat apakah Kemdikbud Ristek akan memberikan sanksi administratif kepada pelaku, karena saya lihat saat ini harapan kita satu-satunya adalah sanksi administratif dari Kemdikbud Ristek,” ujar Hani.

Di sisi lain, Hani ragu kementerian akan menjatuhkan sanksi, melihat putusan pengadilan termasuk MA yang membuat terduga pelaku bebas.

“Walaupun kita tahu, tidak terbukti bukan berarti tidak terjadi,” tegasnya.

Hani, yang seorang psikolog melihat relasi kuasa dalam kasus ini sangat besar. Terduga pelaku adalah dekan ketika kasus ini terjadi, yang menggambarkan kekuasaannya terhadap pada dosen dan juga mahasiswa.

Aksi mahasiswa UGM, menjadikan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai isu utama. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Aksi mahasiswa UGM, menjadikan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai isu utama. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Bebasnya terduga pelaku, menurut Hani juga menjadi gambaran bahwa Permendikbud Ristek 30/2021 dan UU TPKS tidak cukup untuk membela korban.

“Yang perlu kita lakukan setelah ada Permendikbud Ristek dan UU TPKS itu apa? Ternyata kok dicoba dengan satu kasus ini, sama sekali tidak membantu. Kok bisa hakim luput dari membaca UU TPKS atau Permendikbud Ristek,” tambahnya.

Konsep Kekerasan Berbeda

Dari sisi hukum, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Dhia al Uyun mempertanyakan sejauh mana hakim memahami konsep kekerasan dan ancaman dalam kasus kekerasan seksual.

“Apakah hakimnya memang punya pemahaman terhadap kekarasan seksual atau tidak? Karena kalau tidak punya pemahaman kesana, maka tentu saja sangat abai sekali,” ujarnya.

Dhia memaparkan apa yang disebut kekerasan dalam kasus kekerasan seksual tidak dapat menggunakan terminologi yang sama dalam kasus kekerasan secara umum.

“Kekerasan seksual punya karakteristik tersendiri, setidaknya ada kekerasan psikologi, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual itu sendiri,” tegasnya.

Pengancaman dalam kasus kekerasan seksual juga memiliki sudut pandang tersendiri. Ketidakberimbangan posisi para pihak yang ada di dalam proses pembuktian di persidangan sebenarnya memperlihatkan kecenderungan bahwa posisi pelaku lebih diuntungkan daripada korban. Ketiadaan saksi dan lokasi kejadian yang ada di ruang tertutup, juga merupakan aspek yang seharusnya menjadi perhatian dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. (Biro Setpres)

Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. (Biro Setpres)

Janji Menteri Nadiem

Ketika bertemu penyintas pada 14 April 2022 lalu di kantornya, Menteri Nadiem Makarim memang sudah berjanji untuk memberikan sanksi.

“Saat ini Kemendikbud Ristek akan memproses pemeriksaan berdasarkan rekomendasi satgas UNRI untuk diberikan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku,” ujarnya ketika itu.

Nadiem juga meminta Rektor Universitas Riau memastikan hak-hak korban dapat terpenuhi dan mendapatkan perlindungan dari stigma dan tekanan.

“Saya sangat berempati atas insiden yang terjadi. Semoga korban bisa terus menjaga semangat dan kami berdiri dibelakang korban dalam perjuangannya. Saya tahu ini tidak mudah, tetapi terima kasih telah berani bersuara dan berjuang,” tambahnya.

Nadiem juga semua civitas akademik perguruan tinggi memahami urgensi penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kita.

“Poin terpenting dalam Permendikbud Ristek 30 Tahun 2021 adalah keberpihakan kepada korban. Sehingga korban mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk memproses kasusnya serta mendapatkan pemulihan,” kata Nadiem. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.