Warga Sipil – Hampir enam bulan pascagempa bumi mematikan yang menghancurkan Turkiye selatan, ribuan warga yang selamat masih tinggal di pengungsian, sementara Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan menjanjikan upaya pembangunan kembali yang cepat.
“Kami tinggal di kontainer, dan tentu saja ini tidak seperti tinggal di rumah yang layak,” kata Recep Sayilgan, seorang penyintas berusia 41 tahun dari Kahramanmaras, provinsi yang terkena dampak terparah sekaligus episentrum gempa dahsyat pada Februari lalu.
Bencana tersebut merenggut lebih dari 50.000 nyawa dan membuat lebih dari satu juta warga kehilangan tempat tinggal.
Lebih dari 227.000 bangunan hancur atau rusak parah, menurut data pemerintah.
Selain itu, 3 juta orang terpaksa mengungsi akibat gempa tersebut. Mereka pindah ke kota-kota yang lebih aman di wilayah tengah-barat, termasuk ibu kota Ankara, yang berjarak 600 kilometer dari zona bencana.
Terlepas dari dukungan yang diberikan oleh beberapa lembaga negara pasca tragedi tersebut, Sayilgan dan keluarganya ingin kembali menjalani kehidupan normal secepatnya.
Pada 27 Juli, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengumumkan peresmian “kota kontainer baru yang menyambut 1.500 korban gempa yang kehilangan tempat tinggal” di Hatay, salah satu provinsi yang terdampak gempa paling parah.
“Kami diinformasikan bahwa rumah baru akan diserahkan kepada kami tahun ini, dan kami sangat menantikannya karena tinggal di kontainer itu sulit,” tutur Sayilgan.
Dia menekankan bahwa masyarakat menderita karena akomodasi sementara ini dan berharap Presiden Erdogan akan menepati janjinya untuk membangun kembali kota-kota yang hancur dalam waktu satu tahun.
Turkiye telah meluncurkan proyek pembangunan lebih dari 180.000 rumah baru di daerah yang diguncang gempa yang mencakup wilayah yang sangat luas di 11 provinsi, tempat hampir 15 juta warga berdiam.
Gelombang pertama rumah akan diserahkan pada Oktober, menurut pemerintah, sementara pembangunan kamp kontainer baru bagi para penyintas terus berlanjut di daerah-daerah yang diguncang gempa.
Pada 27 Juli, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengumumkan peresmian “kota kontainer baru yang menyambut 1.500 korban gempa yang kehilangan tempat tinggal” di Hatay, salah satu provinsi yang terdampak gempa paling parah.Sementara itu, banyaknya puing dari bangunan yang runtuh atau rusak yang kemudian diratakan dengan tanah karena dinilai berbahaya menjadi tantangan nyata bagi otoritas berwenang.
Terlepas dari mobilisasi bantuan yang komprehensif dan upaya pembangunan kembali di seluruh negeri, cuaca ekstrem, seperti gelombang panas yang terik, memperburuk penderitaan para penyintas.
“Terjadi kekurangan pasokan air yang kronis di Hatay,” tutur Mahmut Ezme, seorang penyintas yang kehilangan sanak saudara dan pekerjaannya dalam bencana itu, kepada Xinhua.
Otoritas berwenang mengirimkan air minum dengan truk untuk mengatasi kekurangan air di provinsi tersebut, yang diterpa sengatan panas mematikan dengan suhu mencapai 40 derajat Celsius.
“Kami melihat otoritas negara dan daerah bekerja untuk mengatasi masalah air, namun perbaikan berjalan dengan lambat. Kami mengandalkan air yang disaring atau air kemasan,” keluhnya, menambahkan bahwa pemadaman listrik juga kerap terjadi.
Sementara itu, banyaknya puing dari bangunan yang runtuh atau rusak yang kemudian diratakan dengan tanah karena dinilai berbahaya menjadi tantangan nyata bagi otoritas berwenang
Truk-truk yang mengangkut puing-puing bangunan yang hancur menjadi pemandangan sehari-hari di jalan raya di seluruh wilayah itu.
Meskipun pembersihan puing akan mengekspos sejumlah besar limbah asbes berbahaya, beberapa pengungsi mengaku senang melihat truk-truk puing yang melintas, karena menunjukkan bahwa pekerjaan konstruksi sedang berlangsung.
“Saya senang melihat truk-truk yang lewat, karena itu membuat saya yakin bahwa kita akan segera memiliki rumah baru,” tambah Sayilgan.