wargasipil.com – Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim menyatakan pemerintahannya akan memperbaiki dan meluruskan aturan-aturan yang bertentangan soal penggunaan kata ‘Allah’ oleh non-Muslim di negara tersebut.
Langkah itu dimaksudkan agar aturan yang berlaku bisa sejalan dengan keputusan para penguasa Melayu sebelumnya, yang menyatakan kata ‘Allah’ tidak bisa digunakan oleh non-Muslim di wilayah Semenanjung Malaya, namun penggunaan bersyarat diperbolehkan untuk non-Muslim di wilayah Borneo.
“Yang perlu dilakukan … adalah pemerintah melakukan proses meluruskan (aturan) agar tidak ada regulasi yang dipandang bertentangan dengan keputusan para penguasa Melayu,” cetus Anwar di hadapan parlemen Malaysia dalam sesi Tanya Jawab Menteri (MQT), seperti dilansir Channel New Asia, Selasa (23/5/2023).
Dia menegaskan bahwa pemerintahannya ‘sepenuhnya (mematuhi) keputusan’ para penguasa Melayu.
Penjelasan itu disampaikan setelah anggota parlemen Bagan Serai, Idris Ahmad, meminta klarifikasi soal pernyataan Anwar sebelumnya yang menyebut kata ‘Allah’ boleh digunakan oleh non-Muslim yang ada di negara bagian Sarawak , yang terletak di Borneo.
Soal proses meluruskan aturan penggunaan kata ‘Allah’ itu, Anwar mengatakan kepada parlemen bahwa langkah itu akan melibatkan amandemen atau penghapusan beberapa bagian dari aturan-aturan lama.
Proses meluruskan aturan itu, sebut Anwar, juga akan diajukan dan harus disetujui oleh Raja Malaysia atau Yang di-Pertuan Agong Sultan Abdullah .
Proposal meluruskan aturan itu kemudian akan dipresentasikan dalam pertemuan para penguasa Melayu atau Conference of Rulers, yang akan digelar pada Juli mendatang.
Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.
“Apa yang diputuskan oleh pengadilan (tahun 2021), apakah itu pengadilan di Borneo atau pengadilan tinggi di sini, didasarkan pada dua aturan yang saling bertentangan, yaitu peraturan Kementerian Dalam Negeri yang dibuat sebelumnya (tahun 1986),” sebut Anwar dalam pernyataannya.
Polemik Panjang Penggunaan Kata ‘Allah’ oleh Non-Muslim di Malaysia
Polemik soal penggunaan kata ‘Allah oleh non-Muslim di Malaysia kembali mencuat sejak 10 Maret 2021, ketika Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur memutuskan bahwa warga Kristen bisa menggunakan kata ‘Allah’ dan tiga kata bahasa Arab lainnya dalam publikasi keagamaan untuk tujuan pendidikan.
Tiga kata bahasa Arab lainnya yang dimaksud adalah Baitullah, solat, dan Kaabah.
Putusan itu dijatuhkan setelah seorang warga Kristen asal Sarawak, Jill Ireland Lawrence Bill, mengajukan judicial review pada 20 Agustus 2008 untuk bisa mendapatkan kembali delapan keping CD dengan judul mengandung kata ‘Allah’ yang disita pemerintah darinya pada 11 Mei pada tahun yang sama.
Ireland juga menuntut deklarasi soal hak konstitusionalnya untuk menggunakan kata ‘Allah’ dalam publikasi agama Kristen.
Putusan Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur itu memicu perdebatan. Seperti dilansir Bernama, Malaysia sejak lama memegang aturan yang diatur dalam Instruksi Kabinet tahun 1986 yang menyatakan umat Kristen diperbolehkan menggunakan empat kata bahasa Arab dalam publikasi keagamaan mereka untuk tujuan pendidikan, dengan syarat ada kata-kata berbunyi ‘Untuk Umat Kristen’ tertulis pada sampul publikasi itu.
Namun kemudian, Petunjuk Administratif yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri pada Desember tahun yang sama secara tegas melarang penggunaan empat kata bahasa Arab itu dalam seluruh publikasi keagamaan Kristen di Malaysia.
Pada 12 Maret 2021, pemerintah federal Malaysia mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur itu. Namun pada 15 Mei tahun ini, banding itu dicabut kembali oleh pemerintah Malaysia, yang memicu kontroversi dan membangkitkan perdebatan selama puluhan tahun di Negeri Jiran.
Dalam penjelasannya di hadapan parlemen pada Selasa (23/5), Anwar mengatakan bahwa keputusan mencabut banding itu dilakukan agar pemerintah bisa memperkuat aturan yang berlaku, sehingga tidak ada lagi ruang bagi masalah itu dibawa ke pengadilan di masa depan.
“Jaksa Agung menilai kasus ini lemah karena aturan yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri. Keputusan itu (mencabut banding-red), dalam pandangan Jaksa Agung dan (setelah saya rujuk kepada) Raja, adalah (agar kita bisa) memperbaiki dan meluruskannya (aturan),” jelasnya.
“Kalau tidak demikian, kasus semacam ini akan muncul kembali karena ada kontradiksi (dalam aturan-aturan itu). Untuk alasan itu, kami (mencabut banding) untuk mengamandemen semua aturan sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada kasus yang bisa dibawa ke pengadilan (di masa mendatang),” tandas Anwar.