VIVA Edukasi – Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif atau respon berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans ini adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sementara respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik mementingkan faktor lingkungan, menekankan pada faktor bagian, menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif, sifatnya mekanis dan mementingkan masa lalu.
Teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran di aplikasikan dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya.
Pembelajaran yang berpedoman pada teori behavioristik ini memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersusun dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa.
Teori belajar behavioristik didirikan beberapa ilmuwan
Dikutip dari jurnal Kemendikbud, teori belajar behavioristik didirikan dan dianut oleh beberapa ilmuwan. Para ilmuwan tersebut diantaranya Ivan Pavlov, Thorndike, Watson, dan Skinner. Berikut penjelasan dari masing-masing teori belajar behavioristik:
– Teori Belajar Classical Conditioning Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov lahir di Ryazan, Rusia 26 September1849 dan wafat pada 27 Februari 1936. Dia merupakan seorang dokter yang pernah meraih nobel dalam bidang fisiologi pada tahun 1909. Pada tahun 1927, Pavlov mengadakan percobaan pada anjing. Anjing akan mengeluarkan air liur jika melihat atau mencium bau makanan. Terlebih, dahulu Pavlov membunyikan bel sebelum anjing diberi makanan. Pada percobaan berikutnya begitu mendengar bel, otomatis air liur anjing akan keluar walau belum melihat makanan. Artinya, perilaku individu dapat dikondisikan.
Belajar merupakan upaya untuk mengkondisikan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Makanan yang diberikan kepada anjing disebut perangsang tak bersyarat (unconditioned stimulus), sementara bel disebut perangsang bersyarat (conditioned stimulus). Baik terhadap perangsang bersyarat maupun tak bersyarat, anjing memberikan respon berupa keluarnya air liur (unconditioned response).
Dari eksperimen ini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan berulang-ulang dengan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku tersebut. Karena itu teori Pavlov dikenal dengan respondedconditioning atau teori classical conditioning.
Menurut Pavlov, pengkondisian yang dilakukan pada anjing tersebut dapat juga berlaku pada manusia. Peranan orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respon perlu adanya suatu stimulus tertentu. Stimulus itu sendirilah yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai penguat.
– Teori Belajar Connectionisme oleh Edward Lee Thorndike
Tokoh yang dikenal sebagai “Father of modern educational psychology” ini adalah seorang Guru besar di Columbia University. Ia lahir di Massachusetts pada 31 Agustus 1874 dan wafat pada 9 Agustus 1949. Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respon (yang juga mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan).
Dari pengertian tersebut, wujud tingkah laku itu bisa saja dapat diamati ataupun tidak dapat diamati. Thorndike melakukan percobaan pada seekor kucing yang dimasukkan ke dalam sebuah kotak yang di dalamnya banyak labirin. Di ujung yang lain disediakan makanan. Maka kucing dengan membaui akan berusaha mencapai makanan tersebut walaupun dengan mencoba-coba dan kadang salah (trial and error).
Namun dengan mencoba berkali-kali, suatu saat kucing tersebut akan langsung dapat menuju tempat makanan tanpa salah. Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum tentang belajar sebagai berikut:
1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness), yaitu keberhasilan belajar seseorang sangat bergantung dari ada atau tidaknya kesiapan.
2) Hukum Akibat (Law of Effect) yang implikasinya adalah apabila diharapkan agar seseorang akan mengulangi respon yang sama, maka diupayakan untuk menyenangkan dirinya, misalnya dengan hadiah atau pujian.
3) Hukum Latihan (Law of Exercise), yaitu bahwa hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat apabila terus menerus dilatih dan diulang. Sebaliknya, hubungan akan semakin lemah jika tidak pernah diulang. Maka makin sering pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasailah pelajaran itu. Teori belajar Thorndike juga disebut sebagai aliran “connectionism”.
Guy R. Lefrancois menyatakan “Thorndike referred to his learning theory as a theory of connectionisme”. Thorndike berpendapat bahwa teori belajarnya berkenaan dengan teori hubungan (connection). Belajar merupakan peristiwa-peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon
– Teori Belajar Operant Conditioning oleh Burrhus Frederic Skinner
Burhuss Frederic Skinner lahir pada tanggal 20 Maret 1904 di sebuah kota kecil bernama Susquehanna, Pennsylvania. Ayahnya merupakan seorang pengacara dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia merefleksikan tahun-tahun awal kehidupannya sebagai suatu masa dalam lingkungan yang stabil, di mana belajar sangat dihargai dan disiplin sangat kuat. Skinner mendapat gelar BA-nya dalam sastra bahasa inggris pada tahun 1926 dari Presbyterianfounded Humilton College.
Skinner adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan, seperti melakukan berbagai penelitian, membimbing ratusan calon doktor, dan menulis berbagai buku. Skinner menjelaskan perilaku manusia dengan tiga asumsi dasar, di mana asumsi pertama dan kedua pada dasarnya menjadi asumsi psikologi pada umumnya, bahkan juga merupakan asumsi semua pendekatan ilmiah. Ketiga asumsi tersebut adalah:
a. Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu (behavior is lawful). Ilmu adalah usaha untuk menemukan keteraturan, menunjukkan bahwa peristiwa tertentu berhubungan secara teratur dengan peristiwa lain.
b. Tingkah laku dapat diramalkan (behavior can be predicted). Ilmu bukan hanya menjelaskan tetapi juga meramalkan. Bukan hanya menangani peristiwa masa lalu tetapi juga masa yang akan datang. Teori yang berdaya guna adalah yang memungkinkan dilakukannya prediksi mengenai tingkah laku yang akan datang dan menguji prediksi itu.
c. Tingkah laku dapat di kontrol (behavior can be controlled). Ilmu dapat melakukan antisipasi dan menentukan/ membentuk tingkah laku seseorang. Dalam teori Skinner penguatan dianggap sangat pentinguntukmembentuk tingkah laku. Menurut Skinner, ada dua macam penguatan, yaitu Reinforcement positif, yaitu efek yang menyebabkan tingkah laku diperkuat atau sering dilakukan. Dan reinforcement negatif, yaitu efek yang menyebabkan tingkah laku diperlemah atau tidak diulangi lagi.
Ciri-ciri teori belajar behavioristik
Berikut perbedaan teori behavioristik dengan teori belajar lainnya:
– Mengutamakan pengaruh lingkungan.
– Hasil pembelajaran fokus pada terbentuknya perilaku yang diinginkan.
– Mementingkan pembentukan reaksi atau respon.
– Bersifat mekanistis atau dilakukan dengan mekanis tertentu, misalnya meminta maaf.
– Menganggap latihan itu adalah hal yang penting dalam proses pembelajaran.
Demikian ulasan tentang teori belajar behavioristik. Semoga artikel ini menambah wawasan kamu dan bermanfaat.
Artikel ini bersumber dari www.viva.co.id.