Pengaruh Peradaban India terhadap Tasawuf Islam
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM – Tasawuf Islam dan para Sufi muslim meninggalkan jejak pemikiran yang inklusif. Mereka terbuka terhadap pengaruh pemikiran manusia dari berbagai peradaban. Termasuk pengaruh kebudayaan dan peradaban India. Berbicara tentang India ini sangat cocok dengan konteks kehidupan beragama umat muslim Nusantara. Sejak awal Dewan Walisongo menyebarkan Islam, peradaban Hindu-Buddha Nusantara menjadi medan dakwah mereka.
Ada banyak ilmuan Barat yang mengkaji tentang hubungan Tasawuf Islam, seperti ajaran Wahdatul Wujud, dengan nilai-nilai Wedanta. Bahkan, William Jones mengatakan bahwa kasidah-kasidah Jalaluddin Rumi dan Hafizh as-Syirazi berkesinambungan dengan teks-teks Gita Givanda, karya penyair India abad 12 Masehi, Jayadewa, dari Puri India (Jones, Asiatic Researches, III, London, 1803: 353-376).
Gita Govinda secara umum menceritakan hubunga Krishna, Radha, dan para Gopi (perempuan pengembala). Tetapi, secara spiritual, teks Gita Govinda mengajarkan tentang cinta sejati, pengabdian, dan penyerahan total, yang menolak adanya dualitas antara hamba dan tuhan, melainkan satu penyatuan utuh dengan Sang Mahaagung (Tuhan). Teks ini dikarang ketika para Brahmana jatuh ke dalam konflik dan invasi Islam masuk ke India. (Prof. P.C. Jain and Dr Daljeet, 2007).
Hubungan erat antara Tasawuf Islam dan peradaban India tidak saja diakui oleh peneliti Barat, melainkan juga oleh intelektual muslim, Abur Raihan al-Biruni. Ia mengutip ucapan Abu Bakar asy-Syibli: “tanggalkan seluruh dirimu, engkau akan sampai pada Kami (Tuhan) sepenuhnya. Perbuatanmu adalah perbuatan Kami (Al-Biruni, Tahqiq Ma li al-Hindi min Maqulah, Leipzig: Edward Sachau, 1925: 43).
Abu Bakar asy-Syibli di atas ingin menegaskan bahwa setiap manusia yang menanggalkan kemanusiaannya maka ia akan bersifat ilahiah. Setiap kata yang diucapkannya adalah firman Tuhan. Setiap tindakan yang dilakukannya adalah perbuatan Tuhan. Hal ini kemudian dirumuskan dalam satu satu konsep yang disebut Fana’ Fillah. Lebur dalam Tuhan. Rata-rata kaum Sufi falsafi mengajarkan fana’ dan baqa’ bersama Tuhan. Atau, Wahdatul Wujud.
Antara Abad 12 dan 14 Masehi, Peradaban Islam menyaksikan puncak keemasannya. Ada banyak Sufi sekaligus filosof yang lahir di abad ini, antara lain: Jalaluddin Rumi (1207-1273), Ibnu Arabi (1165-1240), Hafizh Asy-Syirazi (1310-1390). Pada saat yang bersamaan, Dunia Islam sedang dilanda konflik dengan komunitas non-Muslim melalui Perang Salib (1095-1291), yang terus berlanjut beberapa abad kemudian.
Dengan begitu, sangatlah masuk akal bila kaum Sufi dan para spiritualis dari berbagai aliran keyakinan mengusung prinsip cinta kasih, penyatuan manusia dengan Tuhan, pluralisme dan inklusifitas. Semua karakter ini melekat pada ajaran tasawuf Islam. Sebab, teologi tersebut sangat berguna untuk menghadang gelombang permusuhan dan kebencian antar umat beragama. Manusia adalah rupa Tuhan, dan karenanya menyakiti manusia sama dengan menyakiti Tuhan.
Istilah Wahdatul Wujud ini kemudian masuk ke wilayah Nusantara, dan berganti nama menjadi Manunggaling Kawula lan Gusti. Prinsipnya tetap sama, yaitu ajaran penyatuan diri antara manusia dan Tuhan, cinta kasih yang melampaui batas-batas ideologi dan keyakinan beragama. Karena itulah, para Wali di Tanah Nusantara ini mengajarkan Islam yang harmonis dengan nilai-nilai lokalitas Nusantara. Bukan Islam yang mengusung spirit permusuhan dengan pihak yang berbeda.
Ajaran Wahdatu Wujud, Cinta Kasih, Pluralisme, dan Inklusifitas tidak pernah diajarkan oleh sarjana muslim di luar tradisi sufistik. Karena itulah, Islam dan Kristen berhadap-hadapan di medan permusuhan melalui Perang Salib. Begitu pula yang terjadi di Nusantara, ajaran sufisme Dewan Walisongo tidak menentang kearifan lokal selama tidak menyimpang dari inti ajaran Islam. Dari sanalah, Islam diajarkan melalui keseniah, seperti permainan gamelan dan wayang.
Sekalipun peradaban India mengisi ajaran tasawuf Islam, seperti dikatakan oleh William Jones dan al-Biruni, hal itu tetaplah penting kita pegang teguh. Ajaran cinta kasih menjadi sangat penting di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, beragam, baik adat, tradisi, budaya, keyakinan, dan agama. Indonesia membutuhkan satu teologi yang mendamaikan, bukan teologi kekerasan yang melahirkan anarkisme dan radikalisme.
Keragaman suku, agama, ras dan budaya dan antargolongan (SARA) harus diwadahi dengan ajaran teologi yang inklusif, terbuka, menghargani perbedaan, tanpa mengurangi kepercayaan dirinya sendiri. Teologi inklusif tersebut sangat kental dalam tasawuf Islam. Sekalipun ada kesinambungan yang erat antara teks-teks dari peradaban India dan sufisme Islam, hal itu tidak mengurangi nilai penting ajaran tasawuf. Karena kegunaannya untuk merukunkan umat beragama sangat besar.
Misalnya kita berpegang pada apa yang disampaikan Abu Yazid Bustomi, yang mengatakan: “Tuhan, jadikanlah tubuhku ini memenuhi neraka, dan selamatkanlah orang-orang.” Tentu itu adalah ajaran teologis atau ketuhanan yang sangat humanis dan manusiawi. Abu Yazid ingin mengatakan, dari pada menyakiti orang lain, lebih baik diri sendiri yang menanggung penderitaannya. Karena itulah, bisa kita pastikan, ajaran yang mendorong kekerasan (radikalisme, ekstrimisme, anarkisme) adalah ajaran yangjauh dari ruh Islam sufistik.[]
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.