Bisnis  

Ketika pemerintah dan masyarakat bersatu kurangi sampah makanan

Warga Sipil – Pemerintah dan masyarakat perlu bersatu kurangi sampah makanan menyusul produksi sampah Ibu Kota yang diperkirakan naik dari tahun ke tahun, disebabkan semakin padatnya kondisi Jakarta sehingga aktivitas buang sampah kian meningkat.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di 2021, Provinsi DKI Jakarta menghasilkan sekitar 3,08 juta ton timbulan sampah.

Angka tersebut diprediksi naik lantaran arus transmigrasi ke Ibu Kota semakin tinggi. Salah satu wilayah kota dengan jumlah kepadatan tertinggi adalah Jakarta Barat.

Terang saja, Tambora, Kalideres hingga Cengkareng yang semakin lama semakin dipenuhi lokasi padat pemukiman penduduk menunjukkan bahwa kawasan Jakarta Barat menjadi tujuan favorit para transmigran.

Hal tersebut juga berpengaruh kepada jumlah sampah yang diproduksi setiap hari.

Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Barat, Achmad Hariadi mengatakan setiap harinya Jakarta Barat memproduksi 1.200 ton sampah.

Hampir dari 60 persen dari jumlah tersebut adalah sampah rumah tangga yang berjenis makanan, 30 persen sampah yang dihasilkan industri dan sisanya dihasilkan di kawasan pertamanan dan lainnya.

Kondisi ini membuat Hariadi harus putar otak guna mengurangi setoran sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jakarta Barat per harinya.

Pasalnya, jajarannya telah memasang target harus mengurangi jumlah sampah per hari sebanyak 27 persen dari 1.200 ton sampah.

Pemkot pun mulai gencar melibatkan masyarakat untuk berperan aktif mengolah sampah makanan yang ada di permukiman.

Keterlibatan masyarakat dirasa perlu guna mendukung tugas petugas pembersihan yang jumlah tidak seberapa.

Masyarakat dipersilahkan untuk berekreasi se kreatif mungkin dalam mengelola sampah jenis makanan.

Pemkot juga berperan aktif memancing daya kreativitas masyarakat dalam mengolah sampah dengan membuka sosialisasi pengolahan sampah di Asrama Bambu Larangan, Kalideres, Jakarta Barat.

“Kita sudah jalani program edukasi pengolahan sampah menjadi pupuk kompos, pengolahan sampah anorganik, residu, pengolahan sampah jadi B3, menjadi magot pakan lele ada komposter cair,” kata Hariadi.

Keterlibatan Masyarakat

Keterlibatan di tengah masyarakat mulai membuahkan hasil. Banyak masyarakat yang memiliki daya kreativitas tinggi campur tangan mengolah sampah jenis sisa makanan ataupun anorganik.

Beberapa contoh seperti produksi sabun pencuci baju berbahan dasar minyak jelantah di kawasan Joglo, Kembangan, Jakarta Barat.

Pengolahan itu dilakukan oleh sekumpulan anggota Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK) kelurahan Joglo.

“Pengumpulan minyak jelantah dari setiap RT sebelum diolah jadi sabun,” kata anggota Pokja 3 PKK, Haryati, kala ditemui di kelurahan Joglo, Jakarta Barat.

Hariyati mengatakan kegiatan daur ulang itu didasari oleh maraknya aktivitas pembuangan sampah minyak jelantah ke selokan warga.

Alhasil, selokan sering mampet dan genangan kerap terjadi kala hujan deras datang

Dalam satu bulan, lanjut Hariati, sebanyak 6 RW secara rutin mengumpulkan sisa minyak jelantah ke penampungan yang ada di kantor kelurahan.

Setiap RW rata-rata mengirim 10 sampai 15 liter minyak jelantah. Setelah dikirim, pihaknya lalu mengolah minyak jelantah tersebut dengan cara mencampurnya dengan beberapa bahan seperti soda api dan bahan dasar sabun.

Dari hasil pengolahan minyak jelantah tersebut, pihaknya berhasil membuat sabun pencuci baju sebanyak 15 buah.

Tidak hanya itu, anggota Petugas Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU) Kota Bambu Selatan, Palmerah juga aktif mengolah sampah makanan menjadi pupuk kompos.

Tidak tanggung-tanggung, anggota PPSU bernama Rupansah ini berhasil mengolah tiga ton sampah menjadi 25 karung pupuk. Pengolahan sampah itu dilakukan di rumah kompos Museum Tekstil, Palmerah, Jakarta Barat.

Rupansah mengatakan sampah makanan yang masuk ke dalam rumah kompos berasal dari seluruh warung nasi yang ada di Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat.

Setelah dikumpulkan dalam wadah selama satu bulan, pihaknya akan melakukan proses fermentasi dan penggabungan dengan sampah organik kering seperti dedaunan.

Setelah proses fermentasi dan penimbunan berlangsung selama 25 hari, sampah tersebut mulai dipisahkan.

“Akan ada proses pemisahan antara sampah yang layak dan tidak layak dijadikan pupuk,” kata dia.

Dari hasil pengolahan sampah tersebut, pihaknya bisa memproduksi 25 karung sampah. Satu kurang sampah sendiri bisa terdiri dari 5 sampai 10 kantong pupuk.

Pupuk tersebut pun biasa dibagikan secara gratis kepada warga KBS. Pupuk tersebut juga dijual untuk warga yang tinggal di luar KBS dengan harga Rp 15.000 per kantong pupuk.

“Uang nya untuk operasional rumah kompos seperti membeli cairan pencampur pupuk dan sebagainya,” jelas dia.

Nilai ekonomis

Kembali kepada Achmad Hariadi, dia mendukung penuh hasil karya masyarakat itu dipromosikan secara luas.

Mendorong mereka menjadi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan salah satu jalan yang Hariadi lakukan.

Menurut Hariadi, produk tersebut harus dipasarkan agar masyarakat mendapatkan nilai ekonomis dari jerih payah mengolah minyak jelantah.

“Kita upayakan mereka bergabung dengan Unit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) biar dipasarkan di sana,” kata Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Barat, Achmad Hariadi, saat dihubungi Antara di Jakarta, Jumat.

Menurut Hariadi, produk tersebut harus dipasarkan agar masyarakat mendapatkan nilai ekonomis dari jerih payah mengolah minyak jelantah.

Dengan masuk menjadi pelaku UMKM, Hariadi yakin produk mereka melewati prosesnya uji kelayakan sebelum akhirnya layak untuk dipasarkan secara massal.

Pihak swasta yang tertarik dengan hasil pengolahan sampah itu juga bisa bekerjasama dalam membesarkan produk tersebut.

Dengan adanya sinergitas yang erat antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta, dia yakin jumlah sampah makanan per harinya akan berkurang.

Justru adanya sampah makanan ini bisa dimanfaatkan masyarakat sebagai celah bisnis guna meningkatkan perekonomian di wilayah.