Bisnis  

Kanwil Kumham DKI kaji perlindungan HAM terkait pencemaran udara DKI

Warga Sipil – Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta membentuktim pengkajian perlindungan hak asasi manusia (HAM) terkait pencemaran udara dan tim telah berdialog dengan jajaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta.

Dari pertemuan ini akan terlihat seberapa jauh respon, kebijakan serta solusi dari dinas terkait,” ujar Kepala Bidang HAM Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) DKI Jakarta Safatil Firdaus di Ruang Rapat Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Kamis.

Data dan informasi yang dikumpulkan tim pengkajian perlindungan HAM Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta dari wawancara dan memonitor lapangan menunjukkan bahwa perlu upaya pengendalian pencemaran udara DKI Jakarta menyasar aspek perizinan lingkungan di lingkup Pemprov DKI Jakarta.

Selanjutnya ada tiga prinsip hukum lingkungan (Enviromental Law Principles) yang dikeluarkan sebagai rekomendasi kebijakan perlindungan HAM terkait pencemaran udara.

Yaitu yang mencemarkan harus membayar (Polluter-Pays) sesuai Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian preventif atau penguatan instrumen pencegahan dan ketiga kehati-hatian (precautionary).

Peneliti yang terlibat dalam kajian ini merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Yarsi Mohammad Ryan Bakry. Dia memaparkan tiga prinsip hak asasi manusia atas lingkungan hidup.

Prinsip perlindungan lingkungan harus menyentuh kehidupan semua orang yang terjamin aspek universalitasnya. Seseorang dapat mengklaim hak atas lingkungan yang mencukupi tanpa harus menunjukkan dengan tepat (nyata) kewajiban mana yang diperlukan.

Selanjutnya masalah lingkungan adalah kepentingan moral yang terpenting karena kerusakannya dapat mengancam kehidupan dan kesejahteraan manusia.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sebetulnya memiliki upaya komprehensif untuk memenuhi ketiga prinsip perlindungan HAM bagi warganya dengan meluncurkan aplikasi JaKi dan 13 kanal pengaduan publik yang terhubung dengan bagian “Citizen Relations Management”(CRM) untuk memudahkan pelaporan.

Sayangnya, kata dia, JaKi belum terhubung dengan inovasi teknologi terkait perizinan di aplikasi Jak-Evo untuk memantau lebih mendalam tindak lanjut penyelesaian pelaporan yang diadukan masyarakat. Misalnya, pencabutan izin usaha dan lain-lain.

“Ternyata peran perizinan itu berada di garda terdepan. Perizinan akan menjadi tolok ukur dalam penelitian kami kali ini,” kata Ryan.

Karena, menurut dia, dari perizinan itulah ataupun kegiatan-kegiatan lingkungan yang tanpa izin pun bisa mengakibatkan hal-hal yang sifatnya negatif.

Dalam laporan dokumen informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup DKI Jakarta terdapat 47 isu strategis. Di antaranya soal alih fungsi lahan hijau, pertumbuhan lahan untuk dibangun, kerusakan padang lamun-terumbu karang-mangrove, keterbatasan SDM pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup dan lain-lain.

“Semua isu tersebut sudah dimasukkan dalam lembaran pertanyaan penelitian yang semuanya mencakup tiga tahap kodifikasi yang kami keluarkan di dalam penelitian ini,” kata Ryan.

Ryan menemukan fakta menarik bahwa Pemprov DKI cukup aktif menjalankan fungsi perlindungan HAM atas lingkungan hidup yang sehat. Namun pihaknya belum menemukan hal yang sama dari sisi korporasi maupun konsesi yang usahanya berpotensi mencemari udara.

Ke depan, Ryan menyarankan DLH DKI Jakarta menggunakan tiga prinsip hak asasi manusia atas lingkungan hidup, untuk memaksa penerapan “Polluter-Pays”.

​​​​​​​

Hal itu sesuai Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 bahwa “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”.

Bila prinsip hukum dijalankan, pemerintah tidak perlu menunggu adanya argumentasi maupun pembuktian ilmiah dulu untuk penerapan “Polluter-Pays” ketika masyarakat sekitar memang telah merasakan dan mengadukan adanya pencemaran udara di lingkungan mereka.