Warga Sipil – Seorang pria lanjut usia berjalan tertatih pada sebuah rabat dari arah Tanggul Pantai Kalibaru menuju Kolam Labuh Retensi, Cilincing, Jakarta Utara. Ritme jalannya begitu lambat di bawah terik matahari yang menyengat. Bola gas raksasa itu nampaknya memberi panas sedikit labih banyak kepada tanah Pantai Kalibaru beserta segala isinya dari pada wilayah Jakarta yang lain.
Sejenak, rabat sepanjang 100 meter tersebut tiba-tiba berubah menjadi panggung monolog bisu yang dimainkan oleh seorang pria. Pasalnya panas terik matahari membuat orang-orang berdiam di dalam rumah. Tidak ada orang lain yang berjalan di atas rabat tersebut. Hanya beberapa kendaraan roda dua yang sesekali lewat hanya untuk mendahului pria tua tersebut sampai ke ujung rabat. Pria tua tersebut tetap berjalan. Dari tatapan matanya, ia tahu persis ke mana ia harus pergi.
Ia memakai topi lusuh berwarna hitam dan tas kusam berwarna oranye yang sudah rusak kancing penutupnya. Pada lehernya tergantung sebuah kaca mata selam berwarna kuning, khas seorang nelayan.
Pada tangan kirinya ia memegang sebuah senjata pemburu ikan dengan pelontar tombak bertenaga pegas. Ujung tombak tersebut ditusukkan sebuah potongan sandal jepit berdimensi 2x2x4 centimeter. Ia memastikan agar tombak tersebut tidak melukai dirinya dan manusia lain, kecuali ikan-ikan yang setiap hari ia buru di lautan biru.
Sementara itu, pada tangan kanannya, ia memegang tongkat sepanjang satu meter yang membantunya berjalan. Tongkat tersebut dililit oleh semacam karet berwarna hitam agar tidak licin saat ia gunakan untuk menyangga tubuh besarnya.
Barang-barang tersebut menjadi saksi bisu berapa banyak ia mengacuhkan panas terik matahari Pantai Kalibaru dan berapa banyak ia menantang lautan demi memburu beberapa ekor ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Jam menunjukan pukul 11.49 WIB. Cambang, seorang nelayan disabilitas berusia 62 tahun akhirnya tiba pada sebuah warung kelontong di ujung rabat. Ia kemudian duduk pada tenda depan sebuah lapak pemilahan sampah di samping warung kelontong tersebut. Senjata pemburu ikan dan tongkatnya tidak ia lepas dari pegangan. Pada dahinya, nampak serbuk berwarna hijau menempel, sisa-sisa lautan yang masih enggan berpaling dari padanya.
Cambang adalah seorang nelayan disabilitas yang berasal dari Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Kedua kakinya lumpuh sebagian akibat terkena “racun laut” sekitar 25 tahun lalu, tepat pada momen Reformasi 1998. Kata Cambang, saat itu kakinya sering keram diduga akibat sering terpapar air laut, sehingga berkibat pada kelumpuhan.
Namun, kedua kaki yang lumpuh sebagian tersebut tidak menghalanginya untuk memburu ikan. Ketika berada di darat, ia memang berjalan dengan bantuan tongkat, sehingga lebih lambat dari pada orang kebanyakan. Namun ketika berada di laut, boleh diadu kelihaiannya memburu ikan.
Tidak ada alasan baginya untuk berhenti melaut. Tidak usia, tidak juga kaki yang lumpuh. Baginya, adalah kodrat seorang lelaki dan kepala keluarga untuk mencari nafkah. Memburu ikan adalah cara ia melakukannya.
Setiap hari, ia berangkat dari rumahnya di Kelurahan Kalibaru pada pukul 05.00 WIB menggunakan angkutan kota (angkot) hingga tiba di perempatan Jalan Kali Baru Timur IV. Lalu ia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki sepanjang setengah kilometer menuju Dermaga Nelayan Cilincing, Kolam Labuh Retensi, Jakarta Utara. Lama perjalanan yang ia tempuh sekitar satu jam dari rumahnya menuju dermaga tempat memarkir parahunya.
Sekitar pukul 06.00 WIB ia mulai bertolak ke lautan lepas untuk memburu ikan. Dalam cerita Cambang, ia biasanya mencari ikan hingga tiga kilometer menuju lautan lepas. Namun, akibat kondisi kakinya, ia tidak begitu banyak menyelam.
Ia mencari ikan dengan berenang di permukaan sambil berpegangan pada bambu yang terikat pada samping perahunya. Sesekali, dalam kondisi tertentu, Cambang juga menyelam hingga kedalaman lima meter di bawah permukaan laut. Seninya perjuangan, lautan kadang tidak begitu bersahabat dengannya, demikian juga dengan ikan-ikan yang mengisi dompet nafkahnya setiap hari.
Dalam cerita Cambang, ia mulai melaut dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 09.00 WIB. Ia memiliki perahu berukuran lebar 1,5 meter dan panjang sekitar 6 meter. Perahu tersebut telah digunakan Cambang selama bertahun-tahun, meski kadang sering bolong pada beberapa bagian. Cambang menyimpan perahunya di Dermaga Nelayan Cilincing.
Dermaga tersebut berukuran panjang sekitar 130 meter, mulai dari gerbang Kolam Labuh Retensi Cilincing hingga ujung dermaga. Lalu, lebarnya rata-rata 30 meter.
Siang itu, tampak perahu-perahu nelayan bersandar di dermaga. Beberapa nelayan mengangkut sejumlah keranjang penuh dengan kerang dari perahu menuju ke rumah-rumah pengolahan yang berada di balik tanggul.
Kata Cambang, biasanya dalam sekali memburu, ia mendapatkan hingga setengah kilo gram ikan kiper. Ikan tersebut dijualnya kapada pengepul dengan harga Rp30 ribu. Sebagian dari uang tersebut (Rp12 ribu) digunakan untuk membeli bensin perahu motornya. Sebagian lagi digunakan untuk membayar angkot pergi pulang sebesar Rp4 ribu. Tidak banyak yang bisa ia bawa pulang ke keluarganya. Namun menurutnya, itu cukup untuk kebutuhan makan sehari.
Cambang memiliki tiga anak. Anak pertamanya perempuan, sudah berkeluarga. Anak keduanya juga perempuan, sudah berkeluarga. Lalu anak ketiganya laki-laki yang masih bujang. Di rumah, Cambang tinggal bersama istri, anak ketiga, dan seorang cucunya.
Orang-orang mungkin miris dengan keadaan Cambang, namun Cambang lebih miris lagi dengan orang-orang tanpa kekurangan fisik yang kerjaannya hanya mengemis. Jakarta dengan segala isinya mungkin juga asing dengan para petarung hidup seperti Cambang. Namun Jakarta tidak asing dengan para pengemis dengan segala kelengkapan fisik yang telah Tuhan beri itu.
Di saat orang lain mengetuk-ngetuk kaca-kaca mobil di lampu merah untuk mengemis, Cambang memilih menantang lautan Jakarta. Baginya, hidup tidak selesai dengan meminta-minta, tidak juga dengan berdiam diri mengutuk segala kekurangan yang ada.
Cambang, seorang nelayan lumpuh 62 tahun memilih bertarung, meski dengan langkah tertatih. Tangan yang ia punya lebih memilih tombak pemburu ikan dibanding pengeras suara murahan yang dijadikan kedok meminta-minta. Cambang memilih raut muka yang tegar saat hasil tangkapan ikan tidak seberapa, dibanding raut muka yang mengernyit saat hanya diberi Rp500 perak dalam sekali meminta.
Cambang adalah sumur inspirasi tanpa dasar untuk bahan belajar bagi semua orang mengenai makna hidup. Ia adalah guru kehidupan, yang dari semangatnya, bukan mulutnya, mengajak orang lain untuk tidak mudah menyerah pada keadaan.