TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan hakikat konvensi ketatanegaraan tergambar pada bagian penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelum dilakukan perubahan (amendemen).
Dinarasikan bahwa, ‘Undang-Undang Dasar suatu negara, ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu, berlaku juga hukum yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.’
Dalam konsepsi negara demokrasi, penerapan konvensi ketatanegaraan merupakan hal yang lazim. Konvensi ketatanegaraan hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan, atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku.
“Di Indonesia, contoh konvensi ketatanegaraan adalah Pidato Tahunan Presiden setiap tanggal 16 Agustus, yang tidak diatur dalam Konstitusi, namun tetap dilakukan sejak zaman Orde Baru. Setelah menjadi konvensi, tradisi tersebut akhirnya diformalkan dalam Undang-Undang MD3. Demikian pula Sidang Tahunan MPR RI, yang penyelenggaraannya tidak diatur oleh konstitusi dan tidak diamanatkan undang-undang, namun mengingat urgensinya dapat diterima, dan menjadi konsensus bersama segenap lembaga negara, maka akhirnya menjadi konvensi ketatanegaraan,” ujar Bamsoet saat membuka Forum Tematik Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas) tentang Sidang Tahunan MPR RI sebagai Konvensi Ketatanegaraan, di Komplek MPR RI, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
Turut hadir Wakil Ketua MPR RI Syarifuddin Hasan dan Yandri Susanto serta Ketua Umum Bakohumas sekaligus Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong.
Ketua DPR RI ke-20 sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, hingga kini Sidang Tahunan MPR RI telah menjadi konvensi ketatanegaraan yang terus terpelihara dengan baik.
Dalam dinamikanya, ada harapan agar Sidang Tahunan MPR dapat diselenggarakan sesuai gagasan awal yang mendasarinya, yaitu memfasilitasi setiap lembaga negara untuk menyampaikan laporan kinerjanya, dalam sebuah forum resmi nasional yang dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan disampaikan oleh masing-masing lembaga negara secara langsung.
“Sesuai hasil rapat konsultasi pimpinan MPR RI dengan berbagai pimpinan lembaga negara seperti DPD RI, MA, MK, BPK, dan KY yang dilakukan pada tahun 2020 lalu, disepakati bahwa Sidang Tahunan MPR RI akan memfasilitasi para pimpinan lembaga negara menyampaikan laporan kinerjanya selama setahun terakhir kepada rakyat. Namun kesepakatan tersebut belum dapat terealisasi karena berbagai hal, salah satunya karena pandemi Covid-19. Mudah-mudahan pada tahun mendatang bisa terlaksana,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, munculnya gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam bentuk hukum Ketetapan MPR, melalui mekanisme konvensi ketatanegaraan dan tanpa melalui perubahan konstitusi, membutuhkan kesepahaman dan konsensus bersama diantara delapan lembaga negara. Yaitu MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, KY, dan lembaga Kepresidenan.
“Secara prinsip, seluruh fraksi dan kelompok DPD di MPR RI telah memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya menghadirkan PPHN sebagai road map pembangunan bangsa. Sehingga tidak ada proyek mangkrak, hanya karena adanya perbedaan orientasi dan visi pembangunan dari pemerintah yang sedang berkuasa,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila sekaligus Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, PPHN yang menjadi acuan pembangunan jangka panjang, di samping harus memiliki kekuatan mengikat, juga harus memiliki kedudukan legalitas yang tepat.
Di satu sisi, tidak dalam bentuk undang-undang yang mudah digugat melalui judicial review ke MK, atau ‘diterpedo’ dengan PERPPU. Di sisi lain, tidak juga dalam bentuk pasal-pasal konstitusi yang akan sulit dilakukan perubahan, mengingat PPHN harus mampu menangkap dinamika zaman.
“Artinya, bentuk hukum yang paling ideal adalah diatur dalam Ketetapan MPR, dengan melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI Tahun 1945. Namun melihat dinamika politik yang berkembang, perubahan terbatas UUD tersebut sulit untuk direalisasikan pada tahun ini, sehingga menghadirkan PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR melalui konvensi ketatanegaraan menjadi langkah terobososan yang rasional,” pungkas Bamsoet. (*)
Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.