Warga Sipil – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berkomitmen bahwa produksi gas bumi dari lapangan migas di Indonesia akan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.
“Terkait gas, termasuk LNG (liquefied natural gas), sektor hulu migas berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dulu,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Indonesia saat ini berada dalam masa transisi menuju penggunaan energi bersih dengan mencanangkan target net zero emission (NZE) di 2060. Sejalan dengan hal itu, porsi energi bersih dalam bauran energi nasional terus meningkat.
Meski demikian, penggunaan energi yang bersumber dari energi fosil, seperti minyak dan gas bumi (migas) akan tetap digunakan. Hingga target NZE tercapai di 2060, energi yang bersumber dari hidrokarbon, khususnya gas bumi masih memegang peranan penting sebagai penopang ketahanan energi nasional.
SKK Migas mencatat bahwa dari segi cadangan, potensi gas bumi Indonesia masih cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Mei 2023, cadangan gas alam Indonesia mencapai 54,83 TCF. Apabila proyek-proyek pengembangan lapangan gas berjalan sesuai rencana, Indonesia diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan gas domestik.
“Setelah 2030, kemampuan dukungan industri hulu migas untuk pemenuhan kebutuhan gas domestik menjadi semakin kuat seiring dengan selesainya Proyek Abadi Masela yang dijadwalkan onstream di 2029,” ujar Dwi.
Sementara, Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengungkapkan produksi gas dari lapangan-lapangan migas di Indonesia masih sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh pasar dalam negeri, termasuk sektor industri yang memiliki peranan besar dalam menggerakkan roda perekonomian.
Menurut dia, jaminan ketersediaan pasokan gas bagi industri, terutama industri pengolahan, menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor sebelum menanamkan modal di suatu daerah atau kawasan di Indonesia.
“Kami akan terus mendorong industri dalam negeri untuk bisa memanfaatkan gas kita,” kata Kurnia.
Sedangkan, Country Head Indonesia Rystad Energy Sofwan Hadi menyatakan masih ada beberapa tantangan agar produksi gas nasional bisa terserap secara optimal oleh sektor domestik. Penguatan infrastruktur yang mampu mendukung pemrosesan, distribusi, dan penerimaan gas ke pasar domestik masih dibutuhkan.
Selain itu, perlu juga adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan lapangan-lapangan gas sehingga kebutuhan gas bumi selama masa transisi energi bisa terpenuhi.
“Apabila investasi untuk pengembangan gas, termasuk infrastruktur pendukung, tidak dimulai dari sekarang, pada satu titik di masa depan, Indonesia bisa menjadi net importer gas,” ujar Sofwan.
Merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), gas bumi diamanatkan untuk digunakan secara optimum. Hal itu dikarenakan gas bumi dipandang sebagai sumber energi fosil yang relatif lebih bersih dibanding minyak bumi. Dalam target bauran energi 2015-2050, persentase pemanfaatan gas bumi ditetapkan paling sedikit 22 persen di 2025 dan minimal 24 persen di 2050.
Berdasarkan proyeksi yang tertuang dalam RUEN, kebutuhan gas di 2025 diperkirakan mencapai 44,8 million ton oil equivalent (MTOE). Di 2050, volume kebutuhan gas diperkirakan naik menjadi 113,9 MTOE. Guna mencukupi kebutuhan tersebut, dibutuhkan pasokan gas bumi sebesar 89,5 MTOE atau setara 9.786,7 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) di 2025 dan 242,9 MTOE atau setara 27.013,1 MMSCFD di 2050.
Agar pasokan energi yang bersumber dari gas bumi tetap terjamin, RUEN mengamanatkan pengurangan porsi ekspor gas bumi menjadi kurang dari 20 persen di 2025 dan penghentian ekspor gas bumi paling lambat di 2026.
Amanat itu dijalankan dengan menjamin penyerapan produksi gas dalam negeri untuk industri yang terintegrasi hulu-hilir, transportasi, dan sektor lainnya. Sejauh ini, gas bumi yang diproduksikan oleh lapangan-lapangan migas di Indonesia sudah terserap sebesar 65 persen untuk sektor domestik.