Warga Sipil – Ribuan warga, aktivis, dan nelayan, Sabtu (12/8), berkumpul di Seoul untuk menentang dengan tegas rencana pembuangan air limbah radioaktif Jepang ke laut.
Para peserta aksi unjuk rasa tersebut meneriakkan slogan-slogan dan memegang plakat bertuliskan “Menentang keras pembuangan air limbah radioaktif ke laut” serta “Simpan di darat, jangan buang ke laut”.
“Tidak ada yang tahu seberapa jauh (air limbah) akan mengalir setelah dibuang ke laut. Air limbah itu akan menghancurkan semua ekosistem. Jadi, akan menjadi bencana bagi seluruh umat manusia,” kata seorang pengunjuk rasa bernama Kim Young-ran (50).
Kim, yang bekerja di bidang kesejahteraan sosial nelayan di Mokpo, Korea Selatan, mengatakan beberapa nelayan telah berhenti menangkap ikan di kota tersebut karena meningkatnya kekhawatiran terhadap pembuangan air limbah yang terkontaminasi nuklir.
Meski menuai kritik luas baik, dari dalam maupun luar negeri, Pemerintah Jepang pada musim panas tahun ini tetap akan membuang air limbah terkontaminasi nuklir dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, yang rusak pascagempa dahsyat dan tsunami susulan pada Maret 2011.
Kim Min-kyung (20), salah satu pengunjuk rasa yang juga memimpin tim ekspedisi universitas di Korsel untuk menentang pembuangan air limbah radioaktif PLTN Fukushima, mengatakan bahwa banyak mahasiswa dan warga Jepang, yang dia temui di Jepang saat memimpin tim ekspedisi, menganggap pembuangan air limbah itu sebagai masalah sangat serius.
“Laut bukan milik Jepang saja, tetapi milik kita semua. Meski demikian, (Jepang) akan membuangnya tanpa persetujuan atau kesepakatan dari negara-negara tetangga. Saya rasa tindakan itu keterlaluan karena tidak ada yang tahu bagaimana air limbah tersebut akan memengaruhi negara kita dan negara-negara tetangga lain,” tuturnya.
Mengutip laporan media, seekor ikan rockfish yang ditangkap pada Mei di perairan PLTN Fukushima ditemukan mengandung unsur radioaktif sesium-137 sebesar 18.000 becquerel per kilogram.
Yeo In-doo (50), seorang warga Mokpo, mengatakan pembuangan air limbah itu akan berdampak fatal bagi seluruh ekosistem maupun nelayan, pedagang yang menjual ikan, serta masyarakat yang mengonsumsi ikan.
Yeo mengatakan Jepang harus mengambil alternatif lain, seperti menyimpan limbah itu di darat. Dia juga menyebutkan bahwa Jepang memilih cara termurah untuk membuangnya ke laut dengan bekerja sama secara diam-diam dengan Amerika Serikat.
Lima rencana pembuangan diusulkan sejak tahun 2018 oleh subkomite penanganan air olahan Sistem Pengolahan Cairan Canggih (ALPS), sebuah badan penasihat di bawah Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Perindustrian Jepang.
Rencana tersebut meliputi injeksi geosfer, penguburan bawah tanah, pelepasan hidrogen, pelepasan uap, dan pelepasan ke laut.