PSE Kominfo Ramai Dikritik karena Ancam Kebebasan Berekspresi, Menkominfo: Hormati Aturan Negara

PSE Kominfo Ramai Dikritik karena Ancam Kebebasan Berekspresi, Menkominfo: Hormati Aturan Negara

PSE Kominfo Ramai Dikritik karena Ancam Kebebasan Berekspresi, Menkominfo: Hormati Aturan Negara

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewajibkan platform digital asing untuk melakukan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) melalui Online Single Submission (OSS).

Kominfo siap memblokir platform digital asing yang tidak melakukan pendaftaran PSE tersebut.

Untuk memenuhi persyaratan perundang-undangan paling lambat tanggal 20 Juli 2022, platform digital asing harus mendaftarkan PSE Kominfo. Sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.

Baca juga: Apa Itu PSE Lingkup Privat? Kominfo Ancam Blokir Platform Digital yang Tak Terdaftar

Namun belakangan, ancaman pemblokiran kepada platform digital yang tidak melakukan registrasi PSE Kominfo ramai dikritik karena dianggap melanggar kebebasan berekspresi.

Peneliti Center or Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menilai aturan soal Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, mengancam kebebasan berekspresi lantaran tak memberikan batasan yang jelas.

Pingkan menambahkan, implementasi regulasi yang berkaitan dengan User Generated Content (UGC) atau konten buatan pengguna di Indonesia masih perlu diperjelas karena mengancam kebebasan berekspresi.

“Tanpa definisi jelas untuk konten yang dilarang, berisiko menyebabkan PSE terlalu berhati-hati hingga memblokir konten secara berlebihan,” ujar Pingkan dalam keterangannya, Senin (18/7/2022).

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, melarang jenis konten tertentu tanpa memberikan batasan yang jelas, terutama untuk konten yang dianggap “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”.

Penelitian CIPS menemukan, berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Indonesia pada 29 Oktober 2005, pemerintah bisa membatasi kebebasan berekspresi untuk tujuan keamanan nasional dan perlindungan harga diri manusia terhadap rasisme, hoaks, ujaran kebencian, dan penistaan (ICCPR, 1976).

Baca juga: Pakar IT Soroti Tiga Pasal yang Dinilai Bermasalah dalam Aturan PSE Kominfo

“Pembatasan ini dilakukan melalui UU dan peraturan. Namun, dengan tidak jelasnya batasan “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, pembatasan yang ada bisa memperburuk kebebasan berekspresi di Indonesia,” ucap Pingkan.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *