Dunia dihadapkan pada persoalan konsumsi listrik yang terus naik dan menaikkan emisi karbon. Di sisi lain, dunia juga sepakat menekan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius , dengan mengurangi emisi sekaligus berpindah ke sumber energi hijau. Perjanjian Paris 2015 menetapkan Nationally Determined Contributions (NDC) yang harus dipenuhi setiap negara.
Indonesia berupaya tunduk pada komitmen itu, meski membawa konsekuensi besar. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut, biaya mengurangi emisi karbon sesuai target lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan.
“Biayanya mencengangkan. Upaya itu akan membutuhkan $243 miliar AS untuk 29 persen, hanya untuk sektor kelistrikan. Atau kalau mau dimasukkan ke rupiah, ini sekitar Rp3.500 triliun. Dan saya memberi Anda gambaran apa artinya itu, APBN kita sekitar Rp3000 triliun, untuk memberi Anda konteks masalah ini,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah Tak Mungkin Sendiri
Menteri Keuangan berbicara dalam diskusi tentang pembiayai berkesinambungan, yang diselenggarakan di Bali, Rabu (13/7). Ini merupakan kegiatan pendamping dalam rangkaian pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 hingga akhir pekan nanti.
Biaya itu, lanjut Sri Mulyani, tentu adalah angka sumber daya sangat besar yang perlu dimobilisasi.
“Pembahasannya sekarang, bukan tentang komitmen untuk mengurangi CO2. Tetapi bagaimana agar Anda bisa mewujudkan komitmen itu. Anda butuh uang, Anda butuh teknologi, dan Anda butuh prinsip, yang memungkinkan sumber daya ini bisa dimobilisasi,” tambahnya.
Bendahara negara ini memastikan, secara prinsip pemerintah tidak mungkin memenuhi kebutuhan pembiayaan itu dari kantongnya. Pemerintah, tegasnya, memang memainkan peran sangat penting, tetapi bukan satu-satunya sumber daya untuk komitmen semacam ini.
Peran sektor swasta dan lembaga keuangan internasional, lanjut Sri Mulyani, sangat penting. Karena itulah dia melihat, perbincangan mengenai kerangka kebijakan yang mampu memberi daya tarik dalam pembiayaan program ini, juga penting.
Dalam sudut pandang pembiayaan, karena itulah karbon dikenakan harga. Tujuannya, agar orang menganggapnya bernilai. Muncul kemudian pertanyaan mengenai berapa harga karbon yang wajar di seluruh dunia, dan bagaimana pasar karbon bekerja.
“Indonesia sekarang sedang mempersiapkan semua kerangka peraturan yang diperlukan dan kerangka kerja, agar pasar karbon ini dapat diperkenalkan,” tambah Sri Mulyani.
Sayang, sampai saat ini belum ada harga universal untuk pasar karbon.
“Dan inilah perdebatan serius dalam pertemuan para menteri keuangan. Berapa harga wajar karbon, yang mencerminkan tanggung jawab bersama,” ujarnya lagi.
Obligasi Berwawasan Lingkungan
Berbicara dalam diskusi yang sama, Edwin Syahruzad, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) memastikan dukungan mereka terhadap apa yang disampaikan Sri Mulyani. PT SMI adalah perusahaan di bawah Kementerian Keuangan yang bergerak di bidang pembiayaan dan penyiapan proyek infrastruktur.
Edwin setuju target pengurangan emisi membutuhkan investasi sangat besar di luar APBN.
“Upaya ini membutuhkan partisipasi sektor swasta. Dalam konteks ini, karena itulah PT SMI dalam perannya dalam sisi pembiayaan, kami mencoba untuk menggali sumber pendanaan kami, dari sumber yang beragam,” paparnya.
Upaya yang tengah dilakukan PT SMI antara lain adalah mulai mengeluarkan green bond atau obligasi berwawasan lingkungan. Sumber investasi ini bukan hanya investor, tetapi juga lembaga filantropi dan donor. Upaya ini dijalankan agar PT SMI memperoleh lebih banyak dukungan, tidak hanya pendanaan, tetapi juga asistensi teknik, pembangunan kapasitas dan upaya-upaya sejenis.
Dari sisi pembiayaan, Edwin juga memastikan bahwa mereka terus berinovasi. Garansi untuk proyek-proyek yang ramah lingkungan juga diperkenalkan, dan peningkatan pembiayaan untuk proyek ramah lingkungan serta proyek yang berkaitan dengan perubahan iklim.
”Ini membutuhkan dukungan tambahan, sehingga kami akan bekerja sama dengan banyak partner dan donor, untuk bisa menghadirkan transisi ini, dalam sisi investasi secara lebih lancar, dan tidak memakan banyak biaya,” tambah Edwin.
Uji Kelayakan Lingkungan
Sementara Reynaldi Hermansjah, Presiden Direktur PT Indonesia Infrastructure Finance, menyebutkan bahwa mereka juga membiayai proyek yang berkelanjutan. Secara teknis, ada uji kelayakan yang harus dipenuhi, seperti dari sisi keuangan, teknis dan hukum. Namun, ada sisi tambahan yang juga harus lulus untuk dapat mengakses pembiayaan dari perusahaan ini.
“Kami melakukan apa yang kami sebut uji kelayakan sosial dan lingkungan. Dengan uji ini, kami dapat menganalisis kesenjangan pada proyek yang akan kita biayai. Kesenjangan semacam apa yang ada, dan bagaimana upaya untuk dapat memenuhi persyaratan aspek sosial dan lingkungan yang ditetapkan,” kata Reynaldi.
Secara prinsip, menurut Reynaldi, mereka menetapkan apa yang disebut sebagai corrective action plan untuk proyek yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan. Skema ini dipakai untuk merencanakan tindakan perbaikan yang bisa dilakukan, dengan harapan bahwa proyek-proyek tersebut tetap berjalan.
Reynaldi berharap skema semacam ini tidak menakutkan bagi pengelola proyek infrastruktur. Dalam prosesnya, pelaksana proyek infrastruktur tidak harus memenuhi seluruh persyaratan yang ada di depan dalam kaitan sosial dan lingkungan.
“Itu adalah sesuatu yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu, dan dalam strategi tertentu. Jadi kami percaya, bahwa taspek sosial dan lingkungan dapat diterapkan jika ada kemauan dari pemilik bisnis, pelaksana proyek, bahwa efek ini dapat dimitigasi,” tambah Reynaldi. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.