VIVA Edukasi – Apa tujuan Isra Miraj? Sebelum membahasnya, simak penjelasan Isra Miraj terlebih dahulu. Isra Miraj merupakan hari untuk memperingati perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid Agung di Mekkah menuju Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, yang ditempuh hanya dalam waktu semalam. Dalam perjalanan tersebut, Nabi Muhammad SAW mematuhi perintah Allah untuk menjalankan ajaran Islam dan mengajarkan tentang keesaan tuhan kepada umat manusia.
Isra dan Miraj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad menjadi momentum khusus baginya untuk memperkuat keimanan dan keyakinannya dengan risalah dan ajaran yang dibawanya. Dalam peristiwa itu, Allah SWT memperlihatkan tanda-tanda kebesarannya Yang Agung. Menurut ulama, Isra Miraj terjadi satu tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, yaitu pada tanggal 27 Rajab.
Menurut Prof Quraish Shihab tanda-tanda kebesaran Allah terbagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah nyata dan bis akita ketahui setelah mempelajarinya. Diantaranya yaitu hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta. Lalu yang kedua tidak nyata dan berada di luar hukum-hukum yang manusia ketahui seperti Isra dan Miraj.
Tujuan Isra Miraj
Tujuan perayaan hari Isra Miraj adalah untuk mengenang perjalanan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian dinaikkan Allah SWT ke langit tertinggi yaitu Sidratul Muntaha. Selain itu, perayaan ini juga diharapkan mampu menambah keimanan kita, baik kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Fakta-fakta tentang Isra Miraj
Peristiwa Isra Miraj terbagi dalam dua peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Kemudian dalam Miraj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini, Nabi mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan sholat lima waktu.
Mengapa dalam peristiwa itu Rasul diperjalankan ke Masjidil Aqsa? Kenapa tidak langsung saja ke langit? Dikutip dari laman Kementerian Agama, berikut penjelasan dan hikmahnya yang diungkapkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993).
Pertama, bahwa Nabi Muhammad merupakan satu-satunya Nabi dari golongan Ibrahim AS yang berasal dari Ismail AS, sementara Nabi lainnya adalah berasal dari Ishaq AS. Hikmah lainnya yaitu, bahwa Nabi Muhammad berdakwah di Makkah, sedangkan Nabi yang lain berdakwah di sekitar Palestina. Apabila dibiarkan begitu saja, orang lain akan menuduh Muhammad SAW sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan “golongan” Ibrahim dan merupakan sempalan. Bagi kita sebagai muslim, tidaklah melihat orang itu dari asal usulnya, namun dari ajarannya.
Kedua, Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Nabi SAW. Dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 12, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak mesti secara langsung.
Allah menunjukkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung, karena pada saat itu da’wah Nabi sedang pada masa sulit, penuh duka cita. Oleh sebab itulah pada peristiwa tersebut Nabi Muhammad juga dipertemukan dengan para nabi sebelumnya, supaya nabi Muhammad SAW juga bisa melihat bahwa mereka pun mengalami masa-masa sulit, sehingga Nabi SAW bertambah motivasi dan semangatnya. Hal ini juga merupakan pelajaran bagi kita yang mengaku sebagai da’i, bahwa dalam kesulitan dakwah itu bukan berarti Allah tidak mendengar.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut adalah peristiwa yang berharga, karena ketika inilah sholat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. kendati demikian, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.
Dari ajaran langit tersebut, terdapat nilai-nilai signifikan bagi sebuah kepemimpinan. Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj, yang dimulai dengan ”tasbih”, juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan yaitu menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral (revolusi mental) yang dimulai dari tingkat aparaturnya.
Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya yaitu belajar kepada sejarah. Ini bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat juga berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan.
Dengan demikian kontinuitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ”Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik” (Al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).
Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi’raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-‘adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah).
Hal ini juga akan dapat berjalan baik, apabila aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan yang menyangkut kepemimpinan secara bersama (musyawarah).
Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu’). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.
Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ”pencari Tuhan”).
Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil’alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ”Kebijakan pemimpin itu akan senantiasa berlandaskan pada kemaslahatan untuk rakyat” (Tasharrufu al-imam ‘ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).
Kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan sholat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran sholat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan sholat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam).
Demilikian ulasan tentang tujuan isra miraj dan fakta-fakta menariknya. Semoga artikel ini menambah wawasan dan bermanfaat ya.
Artikel ini bersumber dari www.viva.co.id.