Khawatir PHK Masal, Puluhan Ribu Buruh Akan Gelar Aksi Tolak Kenaikan BBM Awal September

Khawatir PHK Masal, Puluhan Ribu Buruh Akan Gelar Aksi Tolak Kenaikan BBM Awal September

Khawatir PHK Masal, Puluhan Ribu Buruh Akan Gelar Aksi Tolak Kenaikan BBM Awal September

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Puluhan ribu buruh yang tergabung dalam berbagai aliansi bakal turun dalam aksi penolakan terhadap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menegaskan aksi tersebut bakal digelar serentak di seluruh provinsi yang ada di Indonesia awal September mendatang. 

“Dengan demikian Partai Buruh bersama organ serikat buruh akan mengorganisir demonstrasi besar-besaran di 34 provinsi secara serentak terkait rencana tolak kenaikan BBM,” ujar Said dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (23/8/2022).

Pria yang juga merupakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ini beberkan beberapa alasan pihaknya menolak kenaikan BBM.

Menurut Said, dengan adanya kenaikan BBM, dia memperkirakan akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan juga menyusahkan masyarakat serta menimbulkan inflasi tinggi. 

“Mengakibatkan terjadi PHK di mana-mana di pabrik-pabrik dengan naiknya harga barang. Mengapa bisa ada PHK? Karena perusahaan akan memangkas karena energi di industri meningkat nilainya. Ini akan terjadi PHK besar-besaran. Bagi kita ini adalah persoalan serius,” kata Said.

Lebih lanjut, terkait kenaikan inflasi, Said menegaskan belakangan ini upah minimum buruh tidak mengalami kenaikan sehingga daya belinya turun hingga 30 persen, terutama rakyat kecil dan terkhususnya buruh pabrik yang sudah tiga tahun tidak naik upah minimumnya.

Baca juga: Rencana Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Menko Perekonomian Laporkan Skema Alternatif kepada Jokowi

“Daya beli buruh sudah turun 30 persen. Kenaikan BBM yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah, karena upah gak akan naik sampai lima tahun ke depan karena adanya omnibus law, akan mengakibatkan daya beli semakin terpuruk,” kata Said.

Said mengatakan, keputusan pemerintah menaikan harga BBM tidak tepat apabila mengesampingkan realita soal pendapatan per kapita masyarakat di Indonesia. 

Dia mengambil contoh harga BBM di Singapura yang tinggi diseimbangi dengan pendapat per kapita yang tinggi.

“Tidak tepat membandingkan harga BBM di satu negara dengan tidak melihat income per kapita atau kemampuan daya beli masyarakat. Ini menunjukkan daya beli, seperti contohnya Singapura itu sudah di atas sepuluh kali lipat income per kapita Indonesia. Ini (di Indonesia) tidak seimbang, tidak sebanding,” tutur dia.

Lebih lanjut Said menilai, naiknya harga BBM dengan alasan mendorong energi terbarukan sebagai pemikiran yang salah. Menurut hal tersebut hanyalah akal-akalan pemerintah saja. Padahal faktanya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih memanfaatkan energi konvensional.

“Kami menilai, kalau alasan ingin menggunakan energi terbarukan itu hanya cari alasan. Lihat saja PLN, dan BUMN lain yang menyedot BBM dalam kapasitas besar, itu masih menggunakan disel, batubara, disel. Lantas di mana energi terbarukan ini? Jadi jangan ini dijadikan alasan,” ucap dia.

“Alasan kelima, Premiun hampir sudah hilang di masyarakat, jadi andalan masyarakat itu Pertalite. Kami meminta pemerintah untuk memastikan tidak ada harga kenaikan BBM yang dipakai kelas bawah, pekerja, ojek online, petani, nelayan,” tutur Said menambahkan.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.