Pengamat: Stabilitas Politik yang Dimaksud KIB yaitu Tak Ingin Ada Polarisasi di Pemilu 2024

Pengamat: Stabilitas Politik yang Dimaksud KIB yaitu Tak Ingin Ada Polarisasi di Pemilu 2024

Pengamat: Stabilitas Politik yang Dimaksud KIB yaitu Tak Ingin Ada Polarisasi di Pemilu 2024

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto menegaskan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bertekad menjaga stabilitas politik di Indonesia menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024.

Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga mendorong Pemilu 2024 dilaksanakan secara jujur dan adil, demokratis, serta tidak menggunakan isu-isu yang hanya memecah belah bangsa.

Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana mengungkapkan semangat KIB untuk menjaga stabilitas politik jelang Pemilu 2024 berada dalam koridor yang tidak ingin kejadian polarisasi pada Pemilu 2019 terulang kembali.

Baca juga: PPP: Visi Misi KIB Kelanjutan dari Kebijakan Pemerintahan Jokowi

“Saya pikir alasan yang diungkap KIB itu koridornya sama bahwa stabilitas politik-sosial itu kita tidak menginginkan terulangnya kembali polarisasi politik atau politisasi identitas yang memang marak di 2019,” katanya kepada wartawan, Kamis (11/8/2022).

Aditya menilai KIB sepatutnya menerjemahkan tekad dan semangat itu dalam wujud program dan kerangka kerja.

“Makanya poinnya seharusnya lebih ke tawaran program. Pembedanya di sana. Tawaran program, itu jauh lebih penting,” ucapnya.

Menurutnya, semangat menjaga stabilitas politik itu menjadi kepentingan bersama bagi seluruh anak bangsa yang terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan.

Pemilu yang jurdil dan demokratis harus diwujudkan bukan hanya kontestan, tapi juga penyelenggara dan pemilih. Semuanya benar-benar diajak untuk menjaga kesatuan dan persatuan.

“Jadi dalam koridor itu semua pihak yang ingin menjadi bagian dalam Pemilu 2024 punya kerangka yang sama,” ujarnya.

Aditya mengungkapkan semangat menjaga persatuan dan kesatuan sudah menjadi kesepakatan nasional.

Hal itu patut dicatat sebagai semangat kolektif. Tidak elok jika semangat itu dilabelkan pada hanya satu pihak.

“Kalau soal menjaga kesatuan dan persatuan dan sebagainya itu kan sudah kesepakatan nasional. Jadi bukan kemudian dibelah dalam konteks itu (kontestasi). Kalau ada orang tidak mendukung itu? Berarti punya persoalan dong. Kan tidak juga begitu,” ujarnya.

Menurut Aditya, semangat itu harusnya tidak digunakan untuk sebagai pembeda dalam pilihan politik.

“Isu itu harus menjadi perhatian. Bukan kemudian dibelah dalam kontestasi pencalonan atau kontestasi politik,” tandasnya.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.